Cerpen 11 - Melodi Simfoni siKembar

60 10 0
                                    

Maaf adalah kata paling sederhana dan istimewa disaat kalian berada dititik lemah dan tidak dapat menyatu kembali.

***

“krik krik krik…” suara jangkring mulai menyapa gelapnya malam tanpa cahaya rembulan. Sayup – sayup mulai terdengar burung hantu yang ikut menemani malam ini, mulai tampak kilauan cahaya mungil kesana – kemari. Kunang – kunang ini seakan tak takut mendekati badan penuh goresan kayu berpadu dengan aroma yang beraneka hingga aku sendiri tak nyaman dengan tubuh ini.

Aku memang tak sendiri ada Hanum yang menemaniku mencari barang berharga leluhurku, mungkin lebih tepatnya warisan ibuku yang sekarang sudah tiada disisiku.

Akulah Asmia penerus negeri melodi yang saat ini tengah berjuang tuk berdiri kembali. “Putri Mia mungkin kita bisa beristirahat sejenak jika malam begini akan sulit melanjutkan langkah. Lebih baik simpan tenaga untuk melanjutkan keesokan harinya”, pinta Hanum padaku. Aku pun menyetujui sarannya, kami pun membuat alas dari dedaunan dan ranting untuk tidur. Kami memilih pohon yang kuat dan tinggi untuk beristirahat sekaligus melingungi dari serangan binatang buas bila mana saat kami terlelap ada musuh yang mendekat.

Tak terasa istirahat kami pun segera berakhir, mentari mulai menampakkan kekuasaannya dengan disambut kicauan burung hutan yang tak asing lagi bagi indra pendengaran ini. Sudah genap seminggu kami menyusuri hutan ini tapi belum juga menemui ujung yang kami cari. Tujuan kami adalah menuju lembah kesucian yang tak jauh dari ujung hutan tempat kami berdiri. Segera setelah kami memakan buah - buahan yang ada disekeliling kami melanjutkan perjalanan dengan penuh perjuangan.

Tak beberapa lama kami menemukan sebuah genangan air yang lumayan besar dan masih asri. Aku memutuskan untuk membersihkan diri sejenak sedangkan Hanum memilih untuk memcuci muka, tangan dan kaki saja. “Putri Asmia jangan lama – lama waktu itu sangat berharga apalagi dalam keadaan seperti ini,”ucap Hanum dengan tegas. Aku hanya menjawab ya lalu segera selesai dengan urusan membersihkan badan ini. Walau aku seorang putri Hanum lah yang selama ini menjaga yang memberikan pemikiran yang bijaksana. Terkadang aku berpikir seakan aku ini anak kecil yang sedang diasuh oleh pengasuh bayi.

Perjalanan selama genap seminggu ini tidak menghadapi rintangan yang terlalu besar, atau mungkin memang tidak ada penjahat ataupun makhluk pemangsa disekira sini. Tak lama aku melihat seperti ada cahaya disela rimbunan pohon yang menjalar penutup dari zona luar. Hanum memutuskan untuk membersihkan penghalang cahaya tersebut dengan pedang yang penuh noda tanah dan darah yang sudah berbaur membuat kilauan pedang tak nampak lagi.

Hanya aku yang tercengang melihat kenyataan bahwa kami sudah diujung hutan dan mendapati kebebasan dengan pukauan sinar yang menampar wajah kami bersamaan. Ya karena Hanum sudah sering keluar masuk hutan ini bahkan berkelana ke negeri seberang jadi tak heran bila dia tak terkejut dan dengan wajah datar memberikan seluruh tubuhnya untuk diterima sang mentari.

Langkah ini mulai terasa ringan menapaki jalan dengan penuh rumput yang menyambut tanpa rimbunan pohon yang menghalangi pandangan kami. Benar memang bilamana tempat tujuan kami tidak jauh dari ujung hutan ini, aku mulai takjub dan mungkin tak percaya sendiri dengan diriku bahwa didepanku sudah terlihat lembah kesucian. Aku yang untuk pertama kalinya mengembara mendapat pengalaman paling berkesan dan merasa puas karena hanya dengan tenaga dan langkah kaki bisa mencapai semua ini.

Aku adalah putri paling manja diistana dan paling tidak suka diajak bersusah payah ataupun sampai berada dihutan. Sekang aku bukan lagi diriku, aku sudah mulai menjadi putri yang akan memimpin negeri Melodi ini.

Disaat kami hendak menggali tempat yang ditulis oleh ratu, ibuku sendiri, tiba- tiba anak panah melesat tepat ditengahnya.

Dari corak ciri khas panah ini tak pernah terlupa, ini adalah panah milik Swara. Kami pun melihat ke atas dan ternyata benar dia lah Swara, satu – satunya saudara yang ku punya, lebih tepatnya kembaranku.

Dia segera turun kebawah untuk memperebutkan warisan ini dari ku. Kami memang saudara namun setelah kepergian ibu kami memilih jalan tersendiri. Aku yang memilih memimpin negeri  Melodi  karena keindahan, kelembutan, dan kasih sayang yang banyak tercurah didalamnya. Sedangkan Swara dia memilih memimpin negeri Simfoni karena kekuatan, ketegasan, dan jiwa petualang yang terdapat didalamnya.

Sayangnya semua tidak berjalan sesuai rencana, kedua negeri yang kami pimpin tak bisa berjalan mulus, penuh hambatan hingga akhirnya.

Setelah sekitar lima tahun ketiadaan ibu kami mendapat surat yang berisi mengenai warisan yang akan membuat negeri kembali sejahtera, aman, dan tentram.
Kami memperebutkan warisan ini untuk memajukan negeri kami sendiri – sendiri.

Aku dengan bantuan Hanum mencari hingga kelembah kesucian sedangkan Swara dia sendirian. Entah apa yang dipikirkan kembaranku ini berani datang sendiri. Walau aku memang sudah menebak karena kembaranku ini selalu berpetualang mengembara hingga kemana – mana dan tak diragukan lagi kecakapannya dalam beradu senjata. Tapi mungkin kah ini menjadi pertarungan terakhirnya atau malah Hanum tak akan berani menyentuhnya. Karena sepasang kekasih yang sudah lima tahun tak bertemu pastilah saling merindu yang sering menghabiskan waktu dihutan dan mengembara bersama pasti ingin memulai kembali hubungan yang telah lama tak terjalin. Sejujurnya aku salah mengajak Hanum tapi ini pilihan satu – satunya karena hanya dia yang bijak dan sebagai panglima tempurku di negeri Melodi.

Masalah bagimana akhir dari pertarungan mereka aku tidak peduli yang terpenting warisan itu menyelamatkan negeriku.

Wajah keduanya memang nampak biasa tanpa kasih sayang yang tercurah tapi tatapan mata mereka tidak bisa berbohong akan rindunya kebersamaan akan hausnya kasih sayang yang lima tahun tak tercurahkan.

Tanpa kata Swara menghunuskan pedang tepat diperut Hanum dengan tetesan air mata yang ikut turun menghiasi cairan merah yang keluar dari bekas pedang Swara. Hanum yang sendari tadi bersiap tidak dapat membalas karena cintanya pada Swara yang hingga saat ini masih tersimpan dalam lubuk hatinya. Aku yang segera memanfaatkan kondisi titik lemah mereka dengan menggali warisan yang aku cari – cari. Tak lama Swara berpaling saat mendengar tebasan pedang yang mengenai benda keras yang ku ayunkan untuk membuka warisan ini. Setelah terbuka terdapat secarik kertas yang ada didalamnya.

Kami saling merebut kertas tersebut dan menarik hingga kertas tersebut terbelah menjadi dua sobekan. Kami saling tak mengerti maksud tulisan ini karena tidak utuh aku yang mendapat huruf A dan F mulai berlogika sedangkan Swara mendapat huruf M dan A. Hanum segera angkat suara walau sulit berbicara, “Satukan kertas itu maka kalian tidak akan menyesal”.

Tanpa pikir panjang kami menyatukan kertas ini dan kami terkejut dengan tulisan yang dirangkai menjadi kata MAAF.

Kami saling menatap dan ingat dahulu saat masih bersama ibu, kami ingat betul pesannya. Yang mengatakan kalian itu memang berbeda sekali dengan hobi dan kemampuan tapi itulah yang akan menjadikan kalian kuat dan perbedaan itu yang menyatukan.

Maaf adalah kata paling sederhana dan istimewa disaat kalian berada dititik lemah dan tidak dapat menyatu kembali. Salinglah memaafkan bila kalian bertengkar, pimpinlah negeri ini dengan bersatu karena saling membutuhkan.

Ingat pesan ibu MAAF.

Kami saling berpelukan dan berdamai mengetahui yang dimaksud warisan yang dapat membuat negeri sejahtera kembali adalah saling membantu dan melengkapi.

Tanpa negeri Melodi Simfoni tidak akan ada kelembutan dan kasih sayang sebaliknya tidak ada negeri Simfoni Melodi tidak akan merasa aman dan tentram.

Segera Swara mengobati luka Hanum dengan obat yang sudah dia siapkan bilamana ia tertusuk pedangnya sendiri. Namun ternyata pedang itu menusuk kekasihnya. Aku juga sadar keegoisan hanya akan membuat kekacauan tapi kata maaf adalah kerendahan hati yang akan membuat insan menjadi indah dalam berkehidupan.

***

25 April 2019
Oleh: Saskia Dinda Ratna Pratiwi
Galaksi Aksara

Entschuldigung ; Galaksi AksaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang