“Benar. Tuhan tidak membenci saya. Tuhan itu Maha Pemaaf...”
***
Darka menarik napas pelan lalu menghembuskannya. Untuk pertama kalinya, ia merasa dunia menghimpit tubuhnya. Rasa sesak begitu menyiksanya. Entah sampai kapan ia akan berdiri di sana. Seolah rinai hujan bukanlah suatu masalah baginya.Ia terjatuh merosot ke tanah. Airmatanya tidak bisa dibendung lagi. Bersamaan dengan hujan, ia turun dengan deras dari pelupuk mata Darka. Percuma, tidak ada yang bisa kembali lagi. Masa-masanya sudah hilang. Detik, menit, bahkan jam pun sudah muak melihatnya menyia-nyiakan waktu.
Darka sadar, umur yang ia punya selama ini hanyalah bagian hidup dari seseorang. Deminya, orang itu bahkan melupakan umurnya sendiri yang perlahan mulai menghilang ditelan hari-hari panjang.
“Apa yang kamu lakukan, Darka?” pertanyaan itu terlontar dari seorang pria yang tiba-tiba berdiri di hadapannya. Pria itu bersetelan hitam, terlihat rapi dan gagah. Di tangannya ada sebuah payung yang ia pakai untuk dirinya sendiri.
“Ke-kem-bali-kan dia untukku,” lirih Darka terputus-putus. Ia kedinginan sehingga tubuhnya menggigil hebat. Pria paruh baya itu tersenyum miring mendengar kalimat dari si anak muda.
“Setelah dia seperti itu, aku harus mengembalikannya padamu? Untuk apa?” tanya si pria paruh baya. Darka perlahan mendongakkan kepalanya. Matanya menuju ke arah ujung telunjuk pria di depannya.
Darka tidak menemukan objek apapun. Wanita yang ia cari tidak ada di mana-mana. Yang ditunjuk pria paruh baya itu hanya kekosongan. Tak ada siapapun.
“K-kamu mengambilnya,” ucap Darka geram, tangannya mengepal kuat. Ia menatap tajam pria itu. Ingin sekali ia membogem mentah wajah pria yang ada di depannya itu. Tapi, seakan hujan sedang menghukumnya, ia malah tak bisa bergerak. Tubuhnya sangat menggigil. Ia bisa mati membeku. Sudah sejak beberapa jam yang lalu, ia membiarkan tubuhnya diserang hujan. Sekarang, hujan pun tidak mau berhenti menghukumnya.
Ia memang merasa bersalah. Sangat merasa bersalah. Setelah apa yang ia lakukan, tidak akan ada maaf untuknya. Ia berhak dihukum oleh Yang Maha Kuasa. Tapi, hukuman ini belum seberapa. Dia seorang pendosa. Tuhan punya tempat lain untuk menghukumnya. Itu adalah neraka. Tidak juga. Ia bahkan sudah diberi hukuman saat ini. Ia merasa tersiksa akan perasaannya saat ini. Ia pantas menerimanya.
“Tuhan tidak membencimu, Darka,”
Lelaki itu mendongak pada pria yang memegang payung hitam itu. Darka menatap lekat manik hitam itu. Mata teduh sang pria seolah berkata padanya bahwa ia sedang tidak berbohong. Tuhan tidak membencinya? Benarkah?“Wanita yang mencintaimu itu selalu berdoa untuk kebaikanmu. Karena itulah kamu di sini. Sekalipun semuanya terlihat sudah terlambat, tapi Tuhan masih membuka hatimu,” ujar pria itu penuh makna.
Darka hanya bisa membisu. Bibirnya yang membiru sudah memberinya tanda. Bahwa sudah saatnya ia berhenti bersimpuh disana.
Pria paruh baya itu melangkahkan kakinya mendekati Darka. Lalu tangannya terulur sebelah, menandakan bahwa ia akan membantu Darka untuk bangun. Payung yang ada di tangan kanannya ia arahkan pada Darka agar lelaki itu tidak terkena hujan.
“Saatnya menemui wanita yang kau sia-siakan itu, Darka,” ucap pria itu lembut. Darka hanya terdiam. Dia menggigil dan hanya bisa mengangguk. Rasa rindunya pada wanita yang ia cintai sangatlah besar.
Pria paruh baya itu merangkulnya dan menuntunnya ke sebuah makam. Darka mengernyit bingung. Sesaat ia terpaku begitu melihat ukiran nama pada batu nisan di sana. Ia segera menutup mulutnya dengan kedua tangannya. Rasa sesak semakin menggila. Rasanya ia sulit untuk bernapas.
“Dia di sana,” ucap pria itu singkat.
Darka tidak bisa berkata-kata. Napasnya tercekat. Ia bahkan sulit menelan salivanya. Kaku. Ia merasa hampa. Bahkan airmatanya tidak bisa lagi menyamai rintikan hujan. Semuanya telah terkuras habis.
Darka merasa kedua kakinya berubah menjadi jeli. Ia terjatuh lagi, di atas tanah. Tangannya terulur menyentuh nisan yang terukir nama wanita yang sangat ia cintai. Kenapa ia baru menyadari bahwa ia membutuhkan wanita itu? Setelah wanita itu pergi, kenapa ia baru menyadarinya?
“Mama ….” Akhirnya Darka bisa menyebut panggilan itu dengan sendu. Napasnya tidak lagi beraturan. Di setiap huruf yang ia keluarkan untuk menyebut wanita itu terasa sangat sakit.
“Ma-maafin, Darka. Darka nakal ya, Ma? Darka gak mau dengerin ucapan Mama. Darka selalu bantah Mama. Hari itu, harusnya Darka gak kabur dari rumah. Seharusnya Darka dengar nasehat Mama buat gak usah cari Papa lagi. Darka salah, Darka anak durhaka, kan?” Kalimat-kalimat itu meluncur dari bibir Darka yang membiru.
“Kenapa Mama bisa di sini? Di dalam sana gelap, kan? Di dalam sana gak ada lampu, makanan, dan kasur. Kenapa Mama milih di sana? Darka gak akan nakal lagi, Ma. Pulang, Ma ….” Isakan Darka mulai terdengar. Rasanya sangat perih dan sakit.
Darka mulai meraung-raung. Ia menyesal. Sangat menyesal. Hari itu, dia bertekad akan mencari ayahnya lagi. Selama ini ia selalu membantah mamanya. Ia membantah bahwa ayahnya akan pulang pada mereka. Sang mama telah berulang kali mengatakan untuk berhenti mencari ayahnya.
Mamanya benar. Ia tidak bertemu dengan papanya. Lalu ia pulang dan tidak menemui mamanya di manapun. Ia mencari mamanya ke mana-mana. Ia bertanya pada tentangganya, tapi mereka hanya memberi Darka wajah kasihan. Lalu ia menangis di tengah jalan ditemani rintikan hujan. Ia merapal maaf berulang kali agar mamanya kembali. Tapi apa? Ia malah menemukan makam mamanya.
“Dia kecelakaan, saat bertemu saya,” sahut pria itu tiba-tiba. Darka menatapnya nyalang. Entah kekuatan darimana, ia berdiri tegak dan mengepalkan tangannya. Rahangnya mengerah tanda emosi yang mulai memuncak.
“Benar. Tuhan tidak membenci saya. Tuhan itu Maha Pemaaf. Ia memaafkan semua hamba-Nya yang berdosa. Mereka yang khilaf akan bertaubat pada Tuhannya,” ucap Darka dengan lantang.
“Lantas, hidup saya akan semakin memburuk saat anda datang. Saya hanyalah seorang hamba yang dipenuhi oleh keegoisan. Lalu, apakah saya harus memaafkanmu, Papa?”
***
27 Apr 2019
Oleh: Tasyayouth / Cut Tasya Nabila
Galaksi Aksara
KAMU SEDANG MEMBACA
Entschuldigung ; Galaksi Aksara
Cerita Pendek"Mengucap MAAF bukan berarti Kau kalah dan Dia menang. Tapi, berarti Kau berhasil mengalahkan egomu " -Galaksi Aksara. Berisi kumpulan cerita-cerita pendek yang dituliskan oleh banyak kepibadian dan pengalaman yang tersirat di dalamnya. Dengan menga...