Prolog

119 11 11
                                    

Selamat lebaran teman-teman. Mohon ampun ya...

Kuy divote

Dikomen

Dihujat biar hangat

Dinikmati

Ngobrol di kolom komen seru lho...

Ini aku pub ulang ya krn garis besar ceritanya berbeda dibanding Edelia versi innovel. Jadi gapapa hehehehe.
***

Seorang gadis kecil menatap sebuah bingkai foto di tangannya. Kantung matanya terlihat berat, dipenuhi tetesan air yang kian lama kian menumpuk. Dibiarkannyalah air itu untuk kesekian kali jatuh bergulir di pipi lembutnya hari ini. Kornea matanya juga basah kuyup dan memerah, seolah ada gerimis yang tak kunjung berhenti bersamaan dengan sambaran petir yang menyayat dan melukai hatinya.

Namanya Larissa, bocah lima tahun yang Seorangtinggal sendirian di sebuah rumah besar peninggalan orang tuanya. Lantai marmernya hitam mengilat, dindingnya berwarna krim dengan motif sulur tanaman, juga mural bernuansa langit pada langit-langitnya yang kini seakan telah berubah menjadi neraka. Kegelapan mengungkungnya, menenggelamkan Larissa pada sebuah kenyataan bahwa dia kini sendirian.

Awalnya orang-orang bilang bahwa ibu dan ayahnya sedang bekerja, dan dia percaya. Dengan setia Larissa menunggu di teras rumah, tetapi mereka tidak pernah kembali. Gadis itu menunggu di meja makan, berharap ada suara ketukan pintu seperti biasa. Dia mengkhayalkan dua orang yang paling ia cintai membuka pintu sambil membawa hadiah untuknya. "Selamat malam, Sayang! Ini hadiah untuk anak paling cantik di dunia." Larissa menginginkan itu.

Setiap akan tidur dia akan gelisah. Berharap suara cicitan tikus berubah menjadi bisikan hangat, "Jadi anak yang baik, Larissa," ataupun, "Tidur yang nyenyak, putri Ayah yang cantik."

Hingga sinar matahari sudah muncul sempurna, dia berharap ada segelas susu hangat dan roti dengan selai kacang menyambutnya di atas meja. Dia berjanji tidak akan marah saat ayahnya menggelitik perutnya. Dia tidak akan marah saat ayahnya mengoleskan selai kacang di hidungnya. Dia juga berjanji tidak akan menolak masakan ibunya lagi. Dia akan tetap makan nasi goreng kurang garam, atau bubur keasinan buatan ibunya. Dia ingin merasakan itu lagi. Akan tetapi, kenyataan tidak sebaik itu padanya. Meja makan kosong. Kompor sudah disarangi laba-laba. Ruang kerja kosong, ruang keluarga kosong. Semuanya kosong! Gadis itu jatuh terduduk di ubin yang dingin. Rambutnya berjuntaian menyentuh lantai. Tetes air matanya jatuh lagi. Tangannya bergetar menyangga bobot tubuhnya. "Kalian ke mana?"

Larissa nekat berkeliling di sekitar rumah, meneriakkan nama orang tuanya. Tetangga-tetangganya masing-masing mengintip dari balik kisi jendela. Mereka tidak tega mengatakan kenyataan buruk itu. Tiap kali mereka mengajak Larissa untuk menginap di rumah mana pun yang ia mau, Larissa tetap teguh ingin menunggu orang tuanya pulang. Pasti akan sangat menyakitkan saat Larissa tahu kedua orang tuanya mengalami kecelakaan dan ... menghilang. Hanya sebuah mobil hangus terbakar yang berhasil ditemukan. Sisanya hilang raib entah ke mana.

Esok harinya, ada sesuatu yang berbeda. Tetangga-tetangga di sekitar rumah Larissa tidak lagi mendengar suara gadis yang menangis meneriakkan nama orang tuanya. Pun lusanya, pun seterusnya. Larissa ikut-ikutan menghilang tanpa kabar. Tidak ada lagi yang pernah menemukan gadis kecil itu.

EdeliaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang