Pos Pertama

39 5 0
                                    

Menuju bagian yang belum selesai ditulis. Doain konsisten yak. Happy reading.

***

Di dalam stoples kaca itu terdapat sebuah layar sentuh besar yang menyatakan koordinat keberadaan mereka. Hobear terus menuntut Seaniel untuk membaca peta mereka. "Sebentar lagi ada dua cabang sungai. Kita harus menentukan ke mana stoples ini akan bergerak, Sean."

"Belok saja ke kanan." Seaniel menjawab ringan sambil merebahkan tubuh di atas sofa panjang.

"Jangan konyol, Sean. Ini bukan main-main. Kalau nyasar bagaimana?" Dahi Hobear berlipat-lipat lebih banyak dari biasanya. Seaniel bilang dia yang akan bertanggung jawab atas peta itu, tetapi sekarang mana buktinya?

"Kalau nyasar putar balik lah."

Dug! "Aw!" Seaniel mengusap hidungnya yang terkena lemparan binder dari Larissa.

"Yang serius, Seaniel. Ini menentukan nasib kita, lho." Larissa ikut-ikutan ambil suara.

Seaniel menepikan binder itu seraya bangkit dari posisi semula. "Kalian mengira aku bercanda, ya?" Sean membuka peta yang dari tadi di tangannya. Dia menunjukkan sebuah gambar kepada dua temannya.

"Dari mana kau tahu?" tanya Bear yang menegakkan tubuh pada senderan kursi yang menghadap layar.

Sean menunjuk-nunjuk pelipisnya, Pakai otak, dong!

Karena gemas, Bear melempar Sean dengan bantal kursi. Beruntung Sean berhasil menepisnya dengan cepat. "Aku menggunakan korek api, Bear."

Larissa berdiri dari sofanya yang berada di seberang Seaniel. Dia memilih duduk di samping lelaki itu. "Tipuan kuno jeruk nipis  itu bekerja pada kertas ini?"

Seaniel mengangguk. "Terkadang tipuan-tipuan kuno dibutuhkan untuk mengelabui orang-orang yang sok kekinian, Larissa. Kita tidak bisa meninggalkan kebiasaan lama."

"Seharusnya kita sudah mengetahui hal ini sejak dulu," sahut Bear.

Tipuan yang sedang mereka bahas adalah tipuan surat rahasia menggunakan jeruk nipis. Peta itu ditulis menggunakan tinta jeruk nipis, yang mana tinta itu hanya bisa dibaca ketika didekatkan dengan perapian.

"Pos Pertama masih jauh?" Hobear melirik Sean.

"Mungkin kita bakal sampai nanti malam. Kira-kira apa yang bakal kita hadapi, ya?"

Sungai yang dikerangkeng oleh hutan-hutan pengunungan itu tampak bersinar menerima pantulan sinar matahari. Stoples kaca mereka perlahan menuruni air terjun tiga meter yang membuat jantung ketiga remaja itu terasa luruh ke perut. Terlihat sangat anggun apabila menyaksikan stoples itu bergerak di aliran air, sangat tenang dan konsisten.

Larissa melihat lantai stoples yang didesain transparan dari dalam. Dia bisa melihat beberapa ikan kecil penghuni air tawar berenang di bawah sana.  "Ada yang aneh." Larissa mengangkat kepalanya, menatap Bear dan Sean.

"Aneh apanya?" tanya Sean.

"Ikan-ikan yang bergerak dari depan sana tampak mabuk. Mereka seperti stress, atau mungkin keracunan."

Bear dan Sean ikut melihat ke bawah. Mereka melihat ikan-ikan kecil berenang miring, tampak tidak seimbang. "Sepertinya masalah pertama yang harus kita hadapi ada di depan sana." Bear berkata serius. Ujung rambutnya tampak basah karena keringat. Dari balik kacamata di menatap teman satu timnya.

"Jujur, Bear. Aku benci sekali tatapan sok tampan dari wajahmu."

Bear memelototi Seaniel. "Siapa yang sok tampan? Sembarangan." Yang dipelototi hanya menguap.

EdeliaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang