Putri Duyung

36 5 6
                                    

Jika kalian membaca ini, berarti kalian menerima risiko untuk menyelami definisi abadi. Eak.

Happy reading. Vote komen boleh atuh. Ketimbang bayar.

***

Dengan kaki telanjang, Bear dan Sean masuk ke dalam stoples yang karam, mengambil tas dan barang yang tertinggal. Belut raksasa itu mengambang di permukaan air, tidak berniat lagi menyerang mereka yang menghilang.

Larissa melerai mereka untuk keluar. "Aku punya ide lain," katanya. "Masuk kembali ke dalam stoples. Kita tidak tahu benda apa yang ada di sungai ini. Ini sangat dalam. Kita juga mustahil ke permukaan air."

Bear dan Sean memahami maksud perkataan Larissa. Mereka akan mengemudikan stoples kapal selam. Mereka bisa bernapas dalam air sebaik di permukaan.

"Kurangi densitas kapal ini biar bisa mengambang."

"Aku tahu, Sean. Aku tidak bodoh." Hobear menekan sebuah tombol. Partikel penyusun kapal atau stoples itu merenggang. Ukurannya membesar tetapi dengan massa yang sama. Kendaraan itu mengambang beberapa centimeter. Muncul rongga udara di bagian atas kapal.

Bear juga menyalakan kembali mode transparan yang sempat padam karena hantaman kecil saat stoples karam. Kini objek luar tidak bisa mengetahui keberadaan mereka.

Stoples mulai masuk ke muara sungai. Hutan bakau di kiri kanannya semakin renggang. Bahkan kini air semakin pekat. Salinitasnya bertambah, sedangkan kadar oksigen terlarut semakin tipis. Andaikata mereka tidak memakan biji itu mungkin sekarang mereka sudah mati karena jantung mereka tidak dapat bekerja di bawah tekanan seekstrem ini.

"Aku pikir kita bergerak semakin jauh. Kau sudah memastikan rute ini benar, Bear?" tanya Larissa.

Hobear mengangguk yakin. Setidaknya itu yang ditunjukkan layar enroute chart.

"Coba nyalakan lampunya, Bear," saran Sean.

Bear menurut, menyalakan lampu yang membasuh keadaan di depan mereka yang semula gelap.

Dan mereka terkejut.

Mereka tidak berada di sungai lagi. Belut raksasa juga sudah jauh tertinggal di belakang. Mata butanya tidak bisa mengikuti jejak perahu mereka. Justru yang sekarang menghadang adalah laut bebas dan dalam. Dari balik stoples transparan mereka bisa melihat ribuan ikan warna-warni berenang. Yang jingga itu pastilah ikan badut. Yang biru besar, membuat mereka tengadah hanya untuk melihat buntut yang mengepak di dalam air, pastilah mamalia terbesar, paus biru. Mamalia itu seperti melompat ke permukaan, membuat stoples sedikit oleng menerima turbulen. Larissa tersenyum melihat anemon laut. Yang membuatnya terkejut ia bisa melihat Sapi Laut Steller di sini. Hewan itu menurut perhitungannya sudah punah. Saat melihat makhluk tersebut secara langsung, sepertinya Larissa dapat memprediksi bahwa laut tempat mereka bernaung mestilah laut yang jarang terjamah.

"Meski ini bukan dunia kita, tetapi aku seperti sudah terbiasa." Seaniel berseloroh.

"Laut ini masih terjaga. Pastilah tempat yang kita datangi adalah dunia yang ramah." Larissa justru mengomentari hal lain.

Semakin beranjak posisi mereka, semakin sedikit intensitas cahaya matahari yang menembus air. Bongkahan terumbu karang raksasa menyambut mereka. Goa bawah laut bahkan gunung berapi juga ada di sana.

"Pleh em! Pleh!"

Tiba-tiba ada suara jeritan dari dalam air. Seaniel yang menyadari itu pertama kali. Ia langsung menoleh ke kanan dan kiri.

Bear yang melihat tingkah gelisah Sean bertanya, "Ada apa, Sean? Kau gelisah sekali."

"Aku mendengar sesuatu. Sepertinya bahasa klasik untuk meminta tolong."

EdeliaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang