Perahu Stoples Kacang

47 5 0
                                    

Happy reading guys!

***

Di perpustakaan tiga remaja itu kembali berkumpul. Seaniel juga membawa buku tebal bersampul kulit yang tadi malam sudah selesai dibacanya. Buku itu ia letakkan di atas meja. Tangannya menyelinap di salah satu lembaran buku, lalu menarik lipatan perkamen tua. "Ini dia petanya."

Hobear mengangkat alis kanannya, tetapi tak ayal tangannya bergerak meraih perkamen itu. Keningnya berkerut, dia memutar-mutar kertas itu. "Gambarnya mana?" tanya Hobear tidak mengerti. "Mengapa tidak kau tanyakan pada Laminad kalau peta ini tidak ada gambarnya?"

"Laminad juga tidak akan tahu. Di buku itu tertera dengan sangat jelas bahwa yang bisa membaca petanya hanyalah kita. Pemilik garis tangan yang istimewa." Seaniel menegakkan duduknya.

"Apa ada hal lain yang bisa dijadikan solusi masalah ini?" Larissa mengintip perkamen di tangan Hobear. Kertas itu benar-benar kosong, tidak seperti yang diharapkan. "Kau sudah membaca semuanya, kan? Masa iya, tidak ada penjelasan tentang peta itu sedikit pun?"

Sean ber-fuh pelan. Lalu dia menggelengkan kepalanya. Dia juga tidak mengerti masalah yang terjadi. Di buku itu tertulis bahwa peta itu bukan dibaca. Lalu harus diapakan? "Percayakan padaku." Justru kalimat itu yang keluar dari mulutnya.

"Baiklah kalau begitu," jawab Larissa. "Kami percayakan semua kepadamu."

Seaniel mengiyakan ujaran Larissa dengan mengangkat kedua alisnya. Sedangkan Hobear memilih menggigit bibir bawahnya dengan sorot mata dipenuhi tanya. "Kalau kau tidak bisa menemukan cara untuk membaca peta ini bagaimana? Apa kita diam saja?"

Terlihat dengan jelas bahwa kalimat yang diutarakan Bear membuat Sean meneguk ludahnya dengan keras. Dia menggelengkan kepalanya dan berkata, "Aku juga tidak tahu. Semoga saja aku menemukan jawabannya."

"Iya memang begitu. Kita harus terus mencoba. Tetapi pertanyaannya, kalau masih tidak ketemu caranya harus bagaimana? Kita tidak berangkat?"

Larissa menepuk bahu Bear, lantas menggeleng. "Sean juga bingung, jangan bebani pertanyaan itu terus-menerus." Setidaknya itu pesan yang berhasil Hobear terima dari tatapan Larissa.

"Ya sudah, lebih baik kita kembali ke asrama saja. Kita pikirkan matang-matang sekalian beristirahat. Besok hari yang berat, kita harus prima."

Larissa menarik kedua ujung bibirnya yang lembab.

Mereka pun bangkit, menimbulkan suara derit kursi. Hobear masih setia menggenggam perkamen itu, pikirannya tetap mencari jawaban mengenai bagaimana perkamen itu dibaca.

Tiba di kamar, Hobear melepas kacamata lalu meletakkannya bersebelahan dengan perkamen itu di atas meja. Seaniel menyusul duduk di kasurnya seraya melepas tas, dia mengembuskan napas begitu dalam sambil menatap langit-langit kamar.

"Bagaimana kalau kita gagal? Bagaimana kalau besok takdir buruk menjemput kita? Bagaimana kalau kita tidak bisa kembali, Sean?"

Seaniel memutar wajahnya untuk melihat Hobear yang masih menerawang. "Ingat perkataan Laminad. Kita mampu. Tinggal bagaimana kita meyakini diri sendiri. Yah, tetapi aku juga sebenarnya takut. Kalau boleh memilih aku tidak akan ikut. Masalahnya kita tidak punya banyak pilihan."

"Benar juga. Risiko terburuk yang mungkin akan kita dapat nanti paling mati. Semuanya juga bakal mati. Berarti kita harus siap. Oh ya, kau belum makan, kan?"

Seaniel menggeleng.

Hobear kemudian meraih tas ranselnya di bawah tempat tidur, dia membongkar isinya dan menemukan sekotak makanan di antara buku-buku. "Aku membelinya di kantin saat kita mau kembali ke asrama."

EdeliaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang