part 11

7 0 0
                                    

Author POV

"Jadi selama ini, kita selalu nutupin apa yang kita rasain?" Tanya Gimar terkekeh sambil memakan cheese cake di depannya.
"Aku ga nutupin, kamu kali," canda Kila sambil menyeruput teh hangat.
"Cih, sangat terlihat jelas kalau kamu yang takut untuk jujur,"
"Balik dah gue bosen dituduh mulu daritadi astaga, Yo," jawab Kila yang mulai malas mendengar Gimar.
"Sorry, sorry, duduk lagi lah," pinta Gimar pada Kila yang sudah berdiri dari kursi.

Hari itu mereka habiskan berdua sampai hari menjelang malam. Bercerita akan banyak hal yang mungkin selalu tak pernah terlihat bahkan terucap. Meyakini bahwa semua ini nyata.

"De,"
"Hi, Ka Fin, kenapa?" Jawab Kila melalui panggilan ponsel nya.
"Katanya kamu sakit? Kok di rumah gak ada?"
"Ehh mmm," ucap Kila terbata-bata

"Sama gue, Ka. Gue ajak berobat bentar kata dokter hanya butuh istirahat sama hiburan haha, jadi gue ajak makan ade lu," tutur Gimar yang langsung mengambil ponsel Kila dengan cepat.
"Kan, pasti si Gimar, yaudah bawa deh adek gue balik buru," ucap Ka Fin tegas.

Gimar POV

"Balik, Kil,"
"Oke," jawabnya penuh senyum.

Senyum yang dulu selalu membuat hati gue berdesir hebat. Kali ini jauh lebih hebat karena gue tau orang yang duduk di depan gue sekarang mencintai gue sedari dulu. Sejak lama gue terlalu bodoh untuk tidak pernah mencoba, bahkan terlalu pengecut untuk kalah.

"Besok kamu berangkat sama siapa?" Tanya gue asal.
"Sama Nicol," jawab nya menusuk hati gue tepat di tengah.
"Apaan sih, ko sama dia?" Nada bicara gue udah mulai ga nyantai kalau bawa-bawa nama cowok satu itu.
"Astaga bisa-bisa nya ya orang yang juara satu terus terusan, tapi ga punya pikiran sama sekali," omel dia sambil meninggalkan gue di resto.

Kila POV

Kayanya salah gue jatuh cinta sama Gimar yang bodoh nya ga ketulungan.

"Kil, lu lupa bayar ya barusan?" Tanya Gimar polos sekali.
"Okey, let me know something, Gimar. Do you want to answer all of my questions?" Perlahan namun pasti gue harus meluruskan semuanya.
"Okey, just do it," ucapnya.

"Do we--- still friends? Or more than that?" Tanya gue sedikit malu.
"Of course as you wish, darl," jawabnya membuat gue geli.
"Oh come on, I need a clear answer, yang bener," pinta gue
"Oke, I'm yours, you're mine," jawab dia sambil melihat langit-langit mall.
Dan gue hanya bisa senyum-senyum sendiri saat dia ngomong kaya gitu.
"We're in relationship, aren't we?" Tanya gue sekali lagi.
"Yes we are," jawab dia lantang.

"So, Gimar kalau kamu rasa sebelum kita kaya gini kamu yang selalu anter aku ke sekolah berarti setelah kita kaya gini, kamu gak akan anter aku lagi? Terus, saat kita masih sahabatan  aja kamu yang hampir selalu bayarin makanan minuman aku, beli segala macam hal yang kadang aku bilang aku sanggup bayar, sekarang kamu gak akan lakuin hal-hal itu lagi?" Tanya ku sedikit bingung.
"Ga-- ga gitu," ucapnya terbata-bata.
"Aku ga marah, asli, aku cuma nanya aja. Biar aku terbiasa. I know you're rich. Tapi aku juga sanggup kok buat bayar supir dan bayar makanan aku, kalau kamu mau," jawab ku santai.
"I never expected this become true, Kil," jawab nya begitu tulus.
"Eh?" Tanya ku yang mulai merasa tidak enak.

Gimar POV

"Aku ga pernah mikir kamu jadi cewe aku atau aku jadi cowo kamu. Yang aku rasa, setelah kamu tau aku sayang sama kamu lebih dari yang kamu pikir adalah kamu pergi. Jadi mungkin ini cukup sulit buat aku. Walaupun aku bisa aja bikin cewe di luar sana begitu special dan bisa bikin mereka terbang dengan sangat gampang, tapi kali ini beda. It's you," jelas gue dengan jujur.

Kila harus tau sebegitu polos cinta gue buat dia. Gue emang begitu bodoh kali ini.

"Terus, kamu mau kita?" Tanya nya sambil menyatukan kedua alisnya.

Love is a VerbTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang