Gimar POV
Hari ini begitu berbeda. Gue jemput Kila pagi-pagi dengan mobil. Bukan gue yang mau, Kila yang minta. Dia bilang, supir buat Fara belum bisa dateng hari ini.
Fara duduk di depan di samping gue. Sementara Kila duduk di kursi belakang. Gue turutin semua mau nya dia. Gue pikir dia emang belum mau kasih tau banyak orang tentang "kita".
Sampai Eva pun yang nyapa gue tadi pagi, Kila sama sekali cuek jalan ke arah kelas nya ninggalin gue dan Eva ngobrol di depan parkiran.
Tapi gue bener-bener ga bisa diem saat gue liat siang ini Kila duduk berdua sama Nicol di kantin. Iya, berdua.
"Gabung boleh?" Tanya gue tetap santai.
"Boleh banget, Ka," si Nicol yang jawab.Gue liat Kila cuma senyum-senyum liat gue yang duduk di samping Nicol. Gue yakin banget sih ini si Nicol belum tau kalo Kila udah ada yang punya.
"Kenapa, Yo?" Pikiran gue pecah saat Kila mulai bicara.
"Dia udah tau?" Tanya gue asal
"Hah? Gimana?" Tanya Kila balik
"Soal--,"
"Oh iya dia udah tau, kemarin gue demam biasa doang," ujar Kila seakan-akan menutupi semuanya.
"Kil, nanti balik sekolah langsung balik?" Tanya gue spontan
"Aku mau bikin essay yang dulu pernah aku ceritain, Yo. Dan kebetulan banget, Nicol mau bantu aku karena pengetahuan dia tentang pergaulan di negara lain jauh lebih banyak," jelas Kila mantap yang membuat gue semakin dilatih buat sabar
"Mau ditemenin?"
"Eh, gausah," jawab Kila dengan penolakan yang begitu sakit ditelinga gue
"Jemput aja nanti? Gimana?" Tawar Kila.Kila POV
"Eh, gausah," ujar gue pada Gimar yang menawarkan diri menemani gue dan Nicol.
Gue gamau terlalu membebani Gimar yang gue yakin pasti punya banyak urusan. Bukan berarti dia sayang gue, gue jadi mau dia selalu ada di sisi gue. Gue mau dia lebih fokus akan banyak hal yang perlu dia kejar.
Tapi kayanya gue cukup salah menolak Gimar kali ini, gue bisa liat muka dia berubah drastis semakin benci melihat Nicol. Padahal dia tau gue gak akan berpaling sedikit pun.
"Jemput aja nanti? Gimana?" Tawar gue menyenangkan hati nya.
Gue bisa lihat ada secercah senyum yang dia sunggingkan merasa memenangkan pertarungan ini wkwk, Gimar.
"Just call me, okay," ucapnya sambil berlalu.
Gimar POV
Gue emang mulai sedikit sibuk dengan kegiatan sekolah. Mulai dari banyak nya ujian yang gue jalanin. Sepintar apapun gue kata orang-orang, gue tetep bodoh kalau gue ga belajar. Gue selalu sempetin dateng ke tempat les yang orang tua gue daftarin. Satu tempat les untuk pelajaran sekolah sehari-hari, satu untuk fokus masuk kuliah, satu untuk pelajaran bahasa asing, dan satu lagi les musik. Dan yang les musik ini yang gue selalu hadir tiap minggu nya.
Bukan karena gue males atau gimana bahkan terkesan tidak menghargai usaha orangtua. Tapi intinya gue ngerasa mampu walaupun gue ga dateng ke sana. Yang ada gue malah terbebani melihat anak-anak ambisius yang mungkin kerjaan nya hanya belajar sampai lupa bergaul.
Gue punya cita-cita tinggi, gue ingin jadi dokter. Sangat berbeda dengan ayah yang benar-benar bisa merancang mobil bahkan pesawat. Sementara gue hanya dapet ilmu nya sepercik dua percik doang. Atau bahkan tidak tertarik.
Gue mulai sering bertemu Om Agus, adek ayah. Yang aneh itu ayah, dia penyuka otomotif disaat kedua orang tua nya merupakan dokter bedah. Om Agus inilah yang sekarang sering membawa gue sesekali ke rumah sakit. Mengajari gue banyak hal-hal kecil untuk menjadi seorang dokter. Dia pernah memberi tumpukan buku kedokteran yang memang katanya sudah turun temurun dari nenek dan kakek.
KAMU SEDANG MEMBACA
Love is a Verb
RandomCinta tak pernah salah. Semua berlabuh dengan tepat. Ketika semua orang berkata "cinta", hanya orang pemberani yang akan menunjukannya. Bukan hanya sekedar menyimpannya rapat-rapat. Namun, dialah pemenang sesungguhnya, mencintai dengan memberi tanpa...