1 - Meeting

40.7K 1.5K 13
                                    

Beberapa hari sebelumnya...

Di sebuah kamar dengan seorang pria didalamnya.

'Tidak apa-apa, ini bukan salahmu.'

'Kau mempunyai bakat, ini tidak akan menghalangimu untuk berhasil.'

'Kau tetap terbaik bagi kami.'

'Hidupmu tidak akan berakhir sampai disini.'

'Masih banyak cara bagimu untuk berkembang.'

'Belum terlambat untuk memulai kembali.'

Taeyong terbangun dari mimpinya dengan keringat dingin di sekujur tubuhnya. Ia melihat kearah kakinya kemudian menunduk memegang kepalanya sambil berteriak keras.

"Aaaaaarrghhh."

Tak menunggu lama hingga orang tuanya datang dan menenangkannya. Jhonny, kakak Taeyong, dengan kuat memeluknya.

"Tenanglah, Tae. Kau baik-baik saja. Hssstt." Bisik Jhonny berulang-ulang pada Taeyong. Sementara Mrs.Lee, ibu Taeyong, menangis pelan melihat keadaaan Taeyong yang belum juga membaik. Mr.Lee , ayah Taeyong, dengan tenang menenangkan Mrs.Lee.

Beberapa saat kemudian Taeyong yang sudah tenang kembali terlelap berkat Jhonny. Mereka pun secara perlahan meninggalkan ruang tidur Taeyong. Jhonny melihat ibunya yang masih menangis, mengikuti mereka ke ruang keluarga.

"Kita tidak bisa membiarkan Taeyong seperti ini lebih lama lagi." Ujar Jhonny pada ibunya sambil menyerahkan tisu.

"Ini sudah 3 bulan sejak kecelakaan itu, keadaannya bahkan tidak membaik sedikitpun. Terkadang dia terlihat baik-baik saja seperti Taeyong yang kita kenal dulu tapi di lain waktu ia seakan-akan baru saja selamat dari kecelakaan itu. Apa lagi yang perlu kita lakukan?" Jelas Mr. Lee sambil menghela nafas.

Tak dapat dipungkiri, Taeyong sebelum kecelakaan adalah orang yang sangat ambisius dan ceria kapan saja. Selalu mudah beradaptasi membuatnya mudah diterima lingkungannya, dengan berbagai prestasinya terutama sebagai pemain basket muda yang menunjukkan bakat outstanding di setiap pertandingannya.

Namun setelah kecelakaan itu, Taeyong divonis tidak akan bisa bermain basket lagi. Kakinya sendiri dari luar terlihat baik-baik saja namun tidak di dalamnya, ia tak bisa lagi terlalu keras menggunakan kakinya. Perkiraannya ia hanya bisa bertahan 5 menit untuk bermain basket yang menuntut pergerakan kaki maksimal.

"Mungkin kita perlu membiarkan dia kembali ke sekolah. Ini sudah 3 bulan sejak penerimaan SMA dan aku yakin dengan bakatnya pelajaran 3 bulan bukan masalah." Usul Jhonny.

"Apa kau lupa bagaimana reaksinya? Ia adalah orang paling benci dikasihani, kau ingat saat anggota tim SMP nya menjengguk setelah kecelakaan? Ia menggila. Dan lagi, kita tidak tahu sekolah mana yang terbaik untuk keadaannya sekarang." Kembali Mr.Lee menyangkal pernyataan Jhonny.

"Untuk itulah dia perlu kembali membaur ke lingkungan sosialnya. Dia butuh banyak dukungan saat ini, dan teman sebaya adalah pilihan terbaik untuk anak seumur itu, Ayah. Masalah sekolahnya, bukankah St. Nouvelle masih menerima Taeyong? Apa kalian lupa bagaimana pintarnya adikku? Bahkan aku sendiri merinding membayangkan dia bersungguh-sungguh." Tukas Jhonny, ia sudah cukup dengan keputusan orang tuanya untuk mengurung adiknya di rumah.

Bagi Jhonny yang terpenting sekarang adalah bagaimana mengembalikan adiknya seperti disaat cemerlangnya dan menurutnya mengembalikan dia kedalam pergaulan adalah salah satu jalan keluarnya meskipun ada kemungkinan akan terjadi gesekan selama prosesnya tapi ia percaya adiknya mampu melaluinya.

"Apa kau benar-benar berpikir St. Nouvelle adalah pilihan terbaik? Disana bisa saja ia makin bertambah buruk mengingat itu adalah sekolah tujuannya dimasa lalu." Ujar Mrs. Lee.

"Tidak ada pilihan lain. Kita butuh stimuli yang cukup untuk memulainya. Sebaiknya nanti kita bicarakan lagi bersama Taeyong, bagaimana pun ini semua demi dia." Ujar Jhonny

"Hm, baiklah." Jawab Taeyong langsung saat Jhonny menanyakan untuk kembali ke sekolah saat makan siang.

"Kau yakin? Apa kau akan baik-baik saja?" Justru Mrs. Lee yang terlihat tidak setuju sekarang karena melihat Taeyong yang menjawab tanpa peduli begitu saja.

"I'm fine, Mom. Dan lagi aku juga sudah lama berpikir begitu. Di rumah seperti ini terlalu membosankan." Jawab Taeyong untuk menyakinkan ibunya.

"Ehem, baiklah. Kau bisa kembali ke sekolah minggu depan setelah berkasmu diurus. Tapi untuk jaga-jaga aku akan menyuruh beberapa orang untuk memperhatikan keadaanmu dari jauh." Ujar Mr. Lee agar Taeyong selalu dalam pengawasannya.

"Dad ! I'm perfectly fine, okay?" Bantah Taeyong langsung. Ia sudah jenuh dengan semua pengawasan keluarganya, bahkan ia sendiri merasa bahwa keluarganya menganggapnya gila.

"Itu kondisinya, take it or leave it?" Tegas Mr. Lee tak menerima penolakan.

Taeyong melihat mata ayahnya yang sudah menetapkan pendiriannya. Ia pun menghela nafas.

"Fine." Jawab Taeyong kemudian.

Sesuai janji ayahnya, Taeyong mulai kembali bersekolah tepat seminggu setelah pembicaraan itu. Ia baru saja keluar dari ruangan kepala sekolah setelah mendapatkan semua keperluannya di sekolah.

Sebenarnya, Taeyong tidak terlalu peduli dengan sekolah. Ia hanya jenuh dikurung di rumah. Daripada menuju kelas, ia malah berkeliling sekolah dengan santai. Ia mengikuti arah kakinya melangkah.

Kakinya terhenti setelah matanya melihat keterangan gedung di depannya.

' Gedung Olahraga – Lapangan Basket – Lapangan Voli '

Awalnya ia ragu untuk melanjutkan melangkah kedalam gedung yang berkemungkinan besar akan memancing traumanya. Tapi, mengingat dirinya yang seperti itu hanya akan membuatnya semakin terpuruk.

Taeyong berjalan perlahan mengelilingi lapangan basket itu dari tribun penonton. Semua kenangannya mengalir dalam pikirannya. Semua hal yang membuatnya jatuh cinta pada lapangan ini.

Suara decitan sepatu para pemain.

Suara pantulan bola.

Suara gemerincing ring.

Suara teriakan dari berbagai arah.

Tawa, sedih, keringat dari lapangan yang pernah dikuasainya.

Perlahan langkah Taeyong mulai berhenti, seketika dadanya sesak. Ia tahu pasti penyebabnya. Melihat sekelilingnya yang gelap karena cahaya hanya pada lapangan membuatnya terduduk di kursi penonton.

Ia berusaha keras mengatur nafasnya. Setelah sakitnya mulai reda, Taeyong masih meringkuk di kursinya sambil memeluk kakinya. Ia merindukan lapangan di depannya lebih daripada takut akan traumanya.

Srrrrtt..

Perhatian Taeyong teralihkan pada suara pintu yang berbunyi pelan. Ia melihat seorang laki-laki yang masuk dengan bola basket ditangannya, Jaehyun . Ia memperhatikan dengan seksama Jaehyun melepas jasnya dan Taeyong tahu dia senior dari warna dasinya, Merah, yang menandakan kalau dia kelas XI.

Awalnya Jaehyun hanya melakukan Shoot dengan akurasi yang payah bagi Taeyong, namun kemudian ia mulai melakukan beberapa teknik seperti lay-up, dunk, dan berbagai macam gerakan yang sangat berantakan membuat Taeyong menggelengkan kepalanya.

Karena tidak tahan melihat permainan Jaehyun, Taeyong memilih buka suara.

"Payah." Ujar Taeyong.

Meskipun tidak terlalu keras, tapi karena ruangan yang hening diisi hanya dengan mereka berdua, tetap berhasil sampai ditelinga Jaehyun. Ia menghentikan permainannya dan melihat kearah suara tersebut.

Setelah pandangan mereka bertemu, Jaehyun hanya tetap menatap Taeyong. Akhirnya Taeyong lah yang berinisiatif untuk turun ke lapangan.

"Apa kamu baru pertama kali main basket?" Ujar Taeyong.

TO BE CONTINUED...

Jangan Lupa Vote And Comment yaaaa...

M || JaeyongTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang