MELEPAS MERPATI

2.4K 140 3
                                    

Aku menatap langit pagi ini, cerah tanpa awan. Bukankah aku seharusnya dibangunkan, seperti pagi yang dulu sudah lewat ? Kukaitkan kancing lengan panjang kemeja berwarna putih yang aku kenakan. Sedang apa dia ? Pastinya sudah cantik dan siap menerima segala doa-doa baik itu pula.

Kami berpisa karena keadaan, keadaan yang mengharuskan ku melepasnya. Kalaupun aku bisa mengulang waktu tak akan secuilpun aku meningalkannya barang sedetikpun, dan tak akan ku serahkan cintaku kepada sahabat karipku.

Aku berjalan sambil menarik jas hitam yang tergeletak dikasur pada kamar hotel ini. Tak lupa dengan kumis, kacamata dan rambut palsu sialan ini untuk menyempurnakan penyamaran ku.

Biasanya ada seseorang yang membentangkan bagian bahunya hingga lengan-lenganku leluasa untuk masuk. Ia akan berjalan mengitari tubuhku, memastikan bagian kerah kemeja ini terlipat rapi. Meski kenangan masih saja dapat membunuhku kapan pun itu namun hari ini aku harus benar-benar berdandan rapi.

Hari ini datang juga. Kepada mentari yang hendak menjelang menuju siang, aku benar-benar patah hati. Luar biasa sedihnya hingga bahkan airmataku sudah tak bisa lagi jatuh menetes. Aku menyalakan sebatang rokok dan menaruh jas ini dikursi lain pada mobil. Kulajukan sedan merah yang baru saja aku beli kemarin sore dari seorang kenalan. Meski tak seperti mobil kesayanganku namun aku mau menghibur sedikit hatiku walau aku sadar betul kalau lembaran uang itu tak akan pernah melegakan sesak milikku walau hanya satu helaan saja.

Aku membuka atap mobil saat aku sudah sampai di sebuah kompleks perumahaan. Rumah beserta isinya ini adalah saksi betapa aku tidak berdaya melawan takdir ini. Aku kalah dan secara bersamaan aku kehilangan keluarga dan cintaku.

Kujalankan kaki ku menuju kebun belakang rumah dimana tempat resepsi berlangsung. Kalau aku lihat dari para tamu, sepertinya undangannya sangat terbatas. Hanya terdapat beberapa snak saudara dan beberapa teman dekat saja. Tapi tidak dengan keluarga mempelai wanitanya, aku tau betapa sulitnya meluluhkan keras hati laki-laki paruh baya itu.

Aku lihat dari sini kalau mereka yang hadir sudah berpasang-pasang. Aku mau tertawa, pasanganku sudah datang duluan.. sedihnya dia yang berdiri dipelaminan. Kuraih jas dan mengenakannya segera, mungkin acara ini sudah mau mulai.

Pernikahan dengan gaya Eropa, ini baru pertamakalinya buatku. Seharusnya kekasihku aku ajak serta, sedihnya dia adalah yang punya acara ini dengan perencanaan yang tak serta-merta.

Harus aku gambarkan seperti apa ? semuanya serba putih. Dari kursi hingga lampu yang digantung panjang-panjang pada ranting pohon. Sungguhpun kalau ini adalah sebuah resepsi pernikahan yang lain, aku berharap ada dia disisiku. Nanti biar aku melompat se-tinggi mungkin untuk menggapai buket bunga yang dilempar si pengantin. Namun apa daya ? kalau pun sekarang aku melompat untuk rangkaian bunga itu, tak lain adalah buat harapan ku untuk tetap hidup.

Riuh tamu undangan menggema dari arah yang tak jauh dariku berdiri. Oh, ternyata inilah pasangan pengantin yang sedang ber-iringan menuju ke pelaminan besar didepan sana. Sepanjang mereka berjalan, taburan mawar putih memenuhi karpet merah sepanjang menuju pelaminan sangat sakral dan indah. Aku mendekat, sekadar untuk menampakkan diriku. 

Aku harus mati sekarang. Dia begitu cantik, bersanding dengan bukan diriku. Gaun itu selamat, menutup setiap bagian tubuhnya yang begitu aku kenali lekuk dan tepiannya. Aku melepas kacamata milikku. Aku masih ingat dengan jelas kalau aku pernah begitu jatuh cinta sedemikian hebat hanya kepadanya. Rambutnya Ia biarkan terurai begitu saja. Pada kepalanya terpasang flower crown, bisakah satu kali saja aku memeluknya lagi ? Kalau aku bilang mereka serasi, aku terlalu munafik. Dia seharusnya denganku, itu yang akan aku teguhkan sampai kapanpun juga. Jikalau ini mimpi, ini adalah bunga tidur yang paling buruk buatku.

Aku duduk pada sebuah kursi taman. Udara segar mengisi rongga paru-paru milikku. Kicauan burung menjadi satu-satunya saksi betapa hancutnya hatiku sekarang. Tak lama kemudian ada seseorang menyusulku duduk, Ia terlihat kerepotan tapi tak membiarkan aku untuk membantunya. Aku tersenyum simpul, masih saja semesta itu berpihak kepada ku. Aku malah menaruh sebuah pot kecil berisikan mawar yang meski baru kuncup namun sudah terlihat kalau kelopaknya kelak akan berwarna kuning.

“Kenapa lo kesini ?”

“Tak ada, gua hanya ingin melihatnya untuk terakhirkalinya.”

“Dia baik baik aja. Lo gak perlu khawatir soal itu.”

“Gua tau, dia pasi aman sama lo.”

“Sebaiknya lo pulang dan istirahat. Cuaca siang ini tak bagus buat kesehatan lo.”

“Gua udah bener bener capek, gak ada lagi tujuan gua hidup”

“Marsel, lo harus tetap hidup demi anak lo.”

“Sudahlah Bas, gua terimakasih banget sama lo mau gantiin gua buat jagain Anita dan calon anak gua. Tak ada lagi harapan gua buat hidup. sepertinya kali ini gua akan benar benar mati tanpa rekayasa konyol itu lagi.”

“Tak ada yang tidak mungkin di dunia ini, lo masih punya harapan. Pergilah ke LA, sembuhin penyakit lo dan setelah lo sembuh gua janji akan kembaliin apa yang jadi milik lo.”

Aku tak bergeming. Dan tak ku balas ucapannya barusan. Bastian udah berkorban banyak buat gua gak mungkin gua setega itu.

“gua dengar kalau gaun yang di kenakan Anita saat ini adalah pemberian mama.”

“Iya, mama yang milihin gaun itu langsung. Mama juga sangat antusias saat pertama kali gua kenalin Anita sebagai calon istri gua.”

“Apa mama tau kalau Anita hamil ?”

“Gak, Orang rumah gak ada yang tau tentang keadaan Anita.”

“Jangan sampai mereka tau, gua takut mereka gak akan bisa terima keadaan Anita saat ini, terutama Mama.”

“Iya, gua tau.”

“Gua tahu apa yang selama ini lo tulis pada buku lo, semua rencana demi membahagiakan Anita.”

Hanya sebuah senyum simpul yang mampu ku tunjukan sekarang.

Ada hari dimana aku dan Anita pernah bercengkrama. Tentang siapa nanti yang akan berkemas lebih dulu dan memulai petualangan baru. Meski kami pernah ada didalam satu tenda dengan berbagai cerita ditemani sinar temaram lampu badai namun demikian pun aku tak bisa menjanjikan setiap fajar yang akan datang bisa buat mata kami bersama. Api unggun pernah begitu membakar cinta kami hingga membara dan bahkan habisnya oksigen tak akan memadamkannya, akan tetapi aku tidak bisa menahannya untuk tak menjelajahi gunung lain. Sudahkah aku bercerita kalau kami menapaki tebing ini bersama dan bukannya salah satu dari kami berada dipuncak untuk menunggu seorang yang lain menghampiri ?

Aku beranjak dari kursi. Inikah saat-saat yang tak pernah aku minta dalam hidupku ? Ku biarkan sekalilagi cintaku kandas terkikis keadaan.

Aditya Marsel Wiharja pov End.

-
-
-

TBC...........

MY ANGEL ISTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang