Malam mulai gelap. Cahaya purnama menemani perjalanan Nafata menuju rumah gurunya. Jaraknya tidak sampai 1km dari rumah Nafata. Sehingga dirinya lebih suka berjalan kaki dari pada harus membawa mobil mini birunya.
"Assalamu'alaikum," salam Nafata sembari membuka pintu rumah nan sederhana itu. Rumah yang berbentuk huruf L, dengan kolam ikan dan berbagai tanaman di depan rumah. Rumah yang tak berteras, dengan dua pintu kayu berwarna cokelat, dan dua jendela kaca yang mendampinginya di samping kanan dan kiri pintu.
Nafata segera masuk, sebelum menunggu jawaban salam dari gurunya. Karena memang itu adalah permintaan gurunya. Nafata dan yang lainnya diminta untuk langsung memasuki rumah gurunya itu asalkan mengucapkan salam terlebih dahulu. Pasalnya, terkadang gurunya sedang sibuk dibelakang sehingga tidak mendengar ucapan salam dari anak-anak yang mengaji.
Di dalam rumah itu, sudah di sediakan tempat untuk anak anak mengaji. Bagian ruang tamu sengaja tidak diberi kursi dan hanya karpet yang hampir memenuhi seluruh lantai ruang tamu. Hal itu bertujuan supaya tamu yang datang tetap bisa bertamu, dan anak anak yang mengaji pun juga bisa lebih nyaman dalam belajar dan mengaji.
"Wa'alaikumsalam," jawab seorang wanita berkerudung merah segi empat.
"Tumben lebih awal," ucap wanita itu sedikit meledek.
Dia adalah gadis jelita yang tak kalah cantik dengan Nafata. Seorang gadis cantik anak satu-satunya guru Nafata yang ikut serta membantu ayahnya, untuk mengajar anak anak yang mengaji dan menyetor hafalan. Dia juga seorang hafidz Qur'an yang rendah hati, pandai juga bijaksana.
"Iya mba, lagi semangat aja," jawab Nafata singkat seraya tersenyum.
Nafata lebih suka memanggilnya mba Hafa. Karena umurnya hanya lebih tua dua tahun dari Nafata. Lima tahun lamanya Nafata mengenal mba Hafa. Seorang gadis yang baik, sopan, lemah lembut, dan hormat terhadap orang yang lebih tua.
Lima tahun juga Nafata berteman baik dan bermain bersama dengan mba Hafa, sehingga mba Hafa menganggap Nafata sebagai saudaranya sendiri. Begitupun sebaliknya.
Nafata sudah menganggap mba Hafa lebih dari seorang kakak, karena mba Hafa adalah guru yang sebenarnya bagi Nafata. Guru yang selalu mengajari segala hal, dan teman yang selalu meluruskan jalan hidupnya.
"Owh iya, aku kedalam dulu ya Naf, ada urusan," ucap mba Hafa yang hanya dibalas dengan sebuah anggukan oleh Nafata.
Mba Hafa segera meninggalkan Nafata. Seperti biasa, jika ada anak yang datang mba Hafa hanya keluar sekilas untuk menyapa dan lalu masuk lagi meninggalkan ruang tamu yang digunakan untuk mengaji itu. Mba Hafa baru akan keluar lagi untuk memulai kegiatan belajar mengaji itu jikalau anak-anak sudah banyak yang datang.
Sementara itu, Nafata menunggu adik-adik kecilnya yang ikut mengaji sembari memuraja'ah hafalannya. Nafata adalah yang paling tua diantara anak-anak yang lain yang ikut mengaji. Itulah sebabnya Pak ustadz, yakni gurunya itu kaget sekaligus bahagia saat ada seorang anak yang sudah bisa dibilang dewasa namun masih mempunyai semangat untuk mengaji.
Sudah sekitar lima tahun Nafata mengaji. Hingga tak terasa ia sudah bisa membaca Al-Qur'an dengan menguasai tajwidnya. Tak terasa pula hafalannya juga sudah lumayan banyak, meskipun sebenarnya targetnya adalah khatam hafalan Qur'an selama tiga tahun.
Nafata tidak bisa mencapai targetnya. Namun semangatnya masih membara. Tak ada keluh kesah di hati dan pikiran Nafata. Ia tetap rajin menghafal dan memuraja'ah hafalannya. Pak ustadz dan mba Hafa juga dapat memaklumi Nafata yang gagal meraih targetnya. Bagaimana tidak, selain kesibukannya menghafal Al-Qur'an, Nafata juga adalah seorang pelajar yang belajar di sekolah negeri. Sudah tentu ia harus membagi waktunya juga untuk belajar.
Tak lama kemudian, Nafata sudah selesai memuraja'ah hafalannya yang sudah dihafalkannya dari rumah. Seketika suara dentuman larian kaki terdengar ditelinga Nafata. Nafata tersenyum bahagia. Kini, adik-adik kecilnya telah datang.
"Assalamu'alaikum...." ucap salam mereka beriringan sembari berebut memasuki pintu.
***
Langit sudah semakin petang, tampak berbagai rumah sudah sepi. Suasana malam yang sunyi semakin terasa. Namun, tidak untuk kediaman rumah megah nan mewah itu, yang sepertinya hanya ditinggali dua orang saja. Tampak perdebatan yang menegangkan tengah terjadi di dalamnya.
"Pokoknya enggak, ma!"
"Enggak, pokoknya kali ini kamu harus turutin kata-kata mama!"
"Enggak!!"
"Iya!"
Tampak seorang laki-laki muda yang mengenakan kaos kuning didampingi celana jins panjang dengan kalung rantai di lehernya itu kini menangis.
"Nak, Mama itu cuman pengen kamu cepet-cepet memulai hidup baru, dan menggantikan mama mengurus perusahaan papa yang sudah papa bangun dengan kerja keras," kini seorang wanita paruh baya itu tampak menurunkan nada bicaranya.
Seketika suasana hening. Hanya isakan tangis yang terdengar. Wanita paruh baya itu kini menghampiri putra semata wayangnya yang berdiri di ambang pintu kamarnya.
"Nak, umur mama sudah semakin bertambah. Kamu adalah anak satu satunya mama, dan mama nggak mau kamu terus terusan jadi anak yang nggak bener. Hiks.... Hiks.... Mama hanya takut kehilangan kamu nak. Hiks...."
Laki-laki itu hanya diam, mengusap beberapa air mata yang sempat terjatuh dipipinya.
Tanpa basa-basi lagi, anak itu meninggalkan ibunya sendiri. Membiarkan seorang ibu menangis sesenggukan memikirkannya.
***
Tak lama kemudian, Nafata sudah selesai memuraja'ah hafalannya yang sudah dihafalkan dari rumah. Seketika suara dentuman larian kaki terdengar di telinga Nafata. Nafata tersenyum bahagia. Kini, adik adik kecilnya telah datang.
"Assalamu'alaikum...." ucap salam mereka beriringan sembari berebut memasuki pintu.
"Wa'alaikumsalam," jawab Nafata dengan senyum mengembang.
Enam anak perempuan dan tiga anak laki-laki yang mungkin baru berumur lima sampai delapan tahun kini telah duduk berjejeran di samping Nafata. Tampak sekali nafas mereka yang masih tergesa-gesa dan tidak beraturan.
Setelah mereka duduk dengan tenang, barulah mba Hafa datang dan segera memulai kegiatan dengan membaca Q.S Al-Fatihah dan Al-asma Ul-husna.
Beberapa menit kemudian, akhirnya mereka selesai melantunkan nama-nama Allah Swt. Tidak menunggu lama, mereka langsung berebutan untuk menyetorkan hafalan. Namun tidak untuk Nafata. Ia hanya tersenyum gembira melihat anak anak kecil itu sangat bersemangat, hingga membuat mba Hafa kewalahan. Sementara itu, mba Hafa hanya tertawa geli melihat mereka yang saling berebut.
"Iya-iya, sekarang, siapa yang mau menyetorkan hafalan terbanyak----- boleh menyetor terlebih dahulu deh," ucap mba Hafa menenangkan.
"Aku mau setor sepuluh ayat bu ustadzah," seru salah seorang anak dengan baju panjang putih dan kerudung putih bermotif bunganya.
"Aku duabelas bu ustadzah," seru anak yang lainnya tak mau kalah. Seorang anak kecil laki-laki yang sepertinya baru berumur lima tahun.
"Ya, sudah, sekarang yang merasa hafalannya baru sedikit, silahkan dihafalkan lagi ya. Oke?!"
Mereka hanya diam menunduk.
"Adek-adek, kalian itu harus ada yang ngalah, biar nggak ada keributan. Coba kalau kalian nggak ada yang mau ngalah, pasti nggak selesai-selesai kan masalahnya," ucap mba Hafa seraya tersenyum.
"Iya bu ustadzah, minta maaf ya," ucap mereka serempak.
Mba Hafa lalu menganggukkan kepala dengan senyumnya yang semakin melebar. Sedangkan Nafata, ia hanya bisa tertawa kecil melihatnya.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Hafidzah
General FictionLembaran baru gadis yang baru saja lulus sekolah SMA itu kini telah terbuka lebar. Gadis jelita penghafal Al-Qur'an, yang selalu menjaga dan menutupi auratnya. Teka-teki, misteri, dan berbagai ujian tak hentinya selalu mengiringi setiap hembusan...