9. Terimakasih

99 6 6
                                    

Hari sudah semakin sore. Senja begitu indah. Namun keadaan di ruangan itu tak seindah senja di ufuk barat. Terlihat tiga preman dengan salah seorang wanita paruh baya mengenakan kaos pendek merah menunduk ketakutan. Seorang pria dengan jas hitam dan kemeja abu-abu yang berdasi menatap tajam mereka berempat. Sedangkan di samping pria berjas itu seorang wanita paruh baya yang menggunakan kalung emas panjang dengan baju panjang birunya bersama putrinya hanya terdiam bingung.

"Bagaimana mungkin Alex ke pasar, Ma," ucap istri pria itu akhirnya memecahkan keheningan.

"Mama juga nggak tahu, Alex pergi gitu aja karena masih marah sama Mama gara-gara perjodohan itu," jawab wanita paruh baya yang mengenakan baju panjang biru dengan kalung emas di lehernya.

"Kalian bertiga ini bagaimana si, ngurusin satu cewek aja gak becus," geram pria berjas itu kepada tiga preman di hadapannya, "dan kamu, sebagai orang yang paling dekat dengan gadis itu, harusnya kamu nggak usah ngomong macem-macem sama dia, cukup jalanin rencana, ngerti," lanjut pria itu kepada wanita paruh baya yang mengenakan kaos pendek merah dengan rok panjang.

"Tunggu dulu," ucap wanita paruh baya berkalung emas tersebut membuat mereka semua mengarahkan pandangan  kepadanya menunggu rencana baru yang mungkin akan di sampaikan, "tujuan kita nyulik gadis itu  biar si Mirsa minta tolong Alex buat nolongin dia, jadi Alex sama gadis itu bisa terus ketemu dan saling mengenal, tapi,... bukannya kita harusnya bangga kan, tanpa ribet nyulik gadis itu Alex udah ketemu langsung, terus ngapain kita buat rencana bertele-tele, mereka kan udah sering ketemu, pasti akan tumbuh rasa di antara mereka, terus ngapain nggak langsung kita nikahin aja mereka berdua, kan kelar rencana kita, terus tujuan kita akan tercapai dengan mudah."

"Tidak," jawab mbok Mirsa spontan menolaknya, ia tidak rela jika gadis secantik dan sesholehah Nafata harus menikah dengan laki-laki yang tidak bisa menjadi imamnya nanti.

"Eh, kamu gak usah bikin rencana ini kacau ya, kamu harus ngikut sama rencana kita, dan awas aja kalau sampai kamu coba-coba ngebongkar semua rencana dan rahasia kita ke gadis itu, kamu gak bakal hidup lama lagi."

"Ya, bener tuh Mama, rencana Mama udah bagus dan gampang banget, awas kalo lho ngehancurin semuanya," istri pria berjas itu angkat bicara meski suaminya hanya diam tersenyum senang mendengar ide cemerlang sang ibu mertua.

***

"Owh, jadi tiga preman tadi yang semalam mau nyulik lho?" tanya laki-laki yang sudah menolong Nafata kedua kalinya.

"Iya," jawab Nafata singkat dengan terus berjalan menunduk di samping laki-laki itu.

Tiba-tiba, saat sesekali Nafata mengangkat mukanya, ia melihat seorang nenek tua yang terjatuh di pinggir jalan karena didorong oleh seorang ibu-ibu yang kerepotan membawa kantong plastik di tangan kanan dan kirinya. Dengan cekatan Nafata menghampiri nenek tua itu.

"Astaghfirullahhal'adzim, kenapa Nek?" tanya Nafata sembari menuntun nenek itu berdiri. Nenek itu tidak menjawab apa-apa. Ia hanya menangis lalu berjongkok memegang kaki Nafata memohon agar diberi sedikit sedekah supaya bisa membelikan nasi untuk cucu kecilnya yang sedang duduk di seberang jalan. Nafata tersentak kaget dan melangkahkan kakinya ke belakang.

"Ya Allah, berdiri Nek," ucap Nafata sembari berjongkok lalu menuntun nenek itu supaya berdiri. Ternyata ibu-ibu tadi mendorong nenek itu hanya karena dimintai sedekah.

"Ya sudah Nek, begini saja, di mana cucu nenek?" tanya Nafata.

"Di sana, nduk," jawab nenek itu sembari menunjuk ke seberang jalan raya. Dari kejauhan terlihat seorang gadis mungil dengan kaos pendek hijau toska yang  lusuh. Celana yang menutupi hanya sampai lututnya berwarna kuning sudah sangat kotor. Tampak jelas kedua tangannya memegangi perut kecilnya yang kelaparan.

Hafidzah Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang