7. Luka

126 7 0
                                    

'Apa yang terjadi sebenarnya dengan mbok Mirsa?'

"Hai, apa yang lho pikirin, apa lho mau membiarkan gue menghabiskan semua menu sarapan lho?" ucap laki-laki itu membuyarkan lamunan Nafata.

Nafata membalikkan badan hendak menuju meja makan. Tapi langkahnya terhenti. Nafata tertegun saat melihat di meja makan hanya tersisa sedikit nasi dan semangkuk sayur bayam. Rica-rica, sosis bakar, mie bakso, bahkan semangka yang ada di meja hampir saja habis di telan manusia rakus itu.

"Hai, kamu! Apa ini, kamu memakan semua sarapanku?!" teriak Nafata sembari berjalan menuju meja makan.

"Apa salah gue? Kan lho yang nyuruh gue sarapan di sini?" tentang laki-laki itu lalu pergi meninggalkan Nafata.

Nafata masih mencoba bersabar. Ia tak menghiraukan kepergian laki-laki itu. Sesegera mungkin Nafata membereskan meja makan. Setelahnya, Nafata menghampiri mbok Mirsa di halaman belakang.

"Mbok, ini Nafa bawakan sarapan. Sini temenin Nafa sarapan dulu," ajak Nafata sedikit manja.

Mbok Mirsa yang sudah merawat Nafata sejak kecil hanya bisa mengiyakan. Mbok Mirsa meletakkan sapu lidi dan menghampiri Nafata. Mereka berdua makan bersama dengan ceria di bawah gubug tempat dimana Nafata biasa bermain saat kecil.

Selesai sarapan, Nafata merapikan kembali gubuk itu. Nafata segera mencuci tempat makannya dibantu dengan mbok Mirsa yang merapikan alat-alat dapur. Mereka berdua beres-beres sambil bersenda gurau. Kebahagiaan seakan dikuasai mereka berdua. Mereka tertawa bagai dua sahabat yang sudah sangat akrab. Di tengah-tengah candaan, tiba-tiba saja...

"Aaa...!!!"

Nafata segera mencuci tangan dan menuju sumber suara dengan berlari kecil menaiki tangga. Sesampainya di kamar tamu, ia melihat seseorang dengan kemeja biru dan bawahan celana kulot hitam sedang berdiri di depan cermin.

"Hei, ada apa?" tanya Nafata panik seraya menghampiri laki-laki itu.

"Ya ampuuun, harusnya gue yang nanya ini baju apaan sih, gue jadi keliatan aneh tahu nggak?" protes laki-laki itu yang memakai pakaian kantor ayah Nafata.

Nafata hanya berdecak malas lalu meninggalkan laki-laki itu seraya berkata, "Kalau gak mau pakai, nggak usah pakai baju aja nggak papa, terserah."

"Hei..., kebiasaan banget dateng lalu pergi nggak jelas sih lho!" teriak laki-laki itu.

"Ada apa, Non?" tanya mbok Mirsa sesampainya Nafata di dapur.

"Nggak ada apa-apa Mbok, cuman itu laki-laki nggak jelas," jawab Nafata masih sedikit kesal. Ia segera mencuci tangan dan membantu mbok Mirsa membuat bakpao.

"Em, Non, mbok boleh tanya sesuatu nggak?"

"Tanya apa Mbok, tanya aja, kaya nggak biasanya."

"Menurut, Non, laki-laki itu gimana si? Em, maksud mbok, laki-laki itu tergolong orang yang bener ap nggak gitu," tanya mbok Mirsa sedikit canggung. Nafata malah tertawa.

"Kenapa emangnya Mbok..., tenang aja Mbok, dia itu laki-laki lebay, jadi nggak mungkin berani macam-macam sama Nafa, ha...ha...ha...."

"Terus..., apa Non suka sama dia?" tanya mbok Mirsa serius.

"Hahaha, Mbok ini ada-ada aja ya, nggak mungkin lah Nafa suka sama laki-laki nggak jelas kaya dia, baru juga ketemu, Mbok."

"Aaa...!!!"

Lagi-lagi laki-laki itu membuat Nafata kesal. Tapi kali ini Nafata mengabaikan teriakannya.

"Non, dia kenapa lagi?" tanya mbok Mirsa sembari menggulung-gulung adonan tepung yang mulai memadat.

"Nggak tahu, mbok, udah biarin aja, dasar laki-laki lebay," jawab Nafata santai.

"Tapi, lebih baik dilihat dulu non, takutnya ada apa-apa," saran mbok Mirsa.

Nafata mengikuti saran mbok Mirsa meski sedikit kesal. Sesampainya di atas, Nafata segera memasuki kamar tamu. Nafata sangat terkejut ketika melihat laki-laki itu sedang bercermin memijat punggungnya yang telanjang.
Ia segera membalikkan badan hendak keluar, tapi laki-laki itu memanggilnya.

"Eh, lho, tunggu. Bantuin gue, sakit banget nih punggung, kaya abis dikroyok masal," pinta laki-laki itu.

"Kamu butuh apa?" tanya Nafata masih menghadap pintu yang terbuka membelakangi laki-laki itu dari kejauhan.

Sesaat kemudian keadaan hening. Nafata masih menunggu jawaban.
Nafata kesal telah menunggu cukup lama namun belum ada jawaban juga. Saat Nafata membalikkan badan, tiba-tiba laki-laki itu sudah berada di hadapannya. Nafata tersentak kaget. Ia hendak berteriak, tapi laki-laki itu sudah lebih dulu menutup mulutnya.

Degg!

"Mmm," erang Nafata sembari menyingkirkan tangan kanan laki-laki itu dari mulutnya. Lalu menutup mukanya dengan kedua telapak tangannya.

"Eh, kamu apa-apaan si, cepet pake lagi kemejanya!" perintah Nafata.

"Ih lho gitu amat ya, gue minta tolong lho malah tutup muka gitu. Punggung gue sakit nih," kesal laki-laki itu.

"Iya, aku juga tahu, tapi pake dulu kemejanya baru aku bantu."

"Iya-iya, ini udah aku pake," ucap laki-laki itu seraya memakai kemeja yang di bawa di tangan kirinya.

Perlahan Nafata membuka mata.

"Sekarang apa yang kamu butuhin?" tanya Nafata.

"Lho bisa nggak mijetin gue," mohon laki-laki itu.

Nafata hendak mengelak, tapi,---

"Plisss!"

"Enggak, aku nggak mau," jawab Nafata tegas.

"Lho jahat amat si, punggung gue berdarahpun lho nggak mau bantu, nggak punya hati banget," kesal laki-laki itu seraya pergi meninggalkan Nafata menuju cermin.

Nafata sedikit kaget saat mendengar punggung laki-laki itu berdarah. Ia segera keluar mencari sesuatu.

"Hai, tuh kan, lho itu selalu aja dateng pergi nggak jelas ninggalin gue."

Beberapa saat kemudian, Nafata kembali membawakan handuk kecil dan air hangat, serta cream penyembuh luka. Nafata segera menghampiri laki-laki yang masih berusaha mengusap darah di punggungnya menggunakan tisu dalam keadaan berdiri di depan cermin. Tanpa berkata sepatah katapun Nafata segera mengusap dan mengompres luka memar di punggung laki-laki itu. Kali ini, Nafata membiarkan laki-laki itu melepas kemeja yang dipakainya.

"Aw, pelan-pelan...," protes laki-laki itu. Nafata masih diam dan berhenti sejenak. Ia berusaha lebih hati-hati lagi mengusap lukanya. Setelah dirasa bersih, Nafata mengoleskan cream ke luka memar itu dengan pelan.

"Aw, perih...," keluh laki-laki itu. Nafata hanya berdecak malas.

Setelah selesai, laki-laki itu segera memakai kemeja lagi meninggalkan Nafata dan duduk sembari meregangkan tangannya pelan-pelan di atas ranjang.

"Hai, lho mau matung terus di situ?" tanya laki-laki itu.

Nafata segera menuju ke luar dengan membawa mangkuk yang berisi air hangat dan handuk kecil tadi. Langkahnya tiba-tiba terhenti.

"Bawa istirahat biar nggak sakit," saran Nafata sedikit sadis. Laki-laki itu hanya diam tak menghiraukan, malah pergi ke balkon dan melihat pemandangan hamparan kebun di bawahnya.

Sesampainya di dapur, Nafata segera mencuci mangkuk dan handuk kecil tadi lalu menjemur handuknya di halaman belakang.

Nafata menuju kamarnya setelah dirasa rumah sudah beres. Ia segera mengambil handphonenya setelah sampai di kamar. Nafata dikejutkan dengan sebelas panggilan masuk tak terjawab. Ternyata dari mba Hafa. Ia segera melihat chat dari mba Hafa. Dia lebih dikejutkan lagi saat mengetahui mba Hafa akan dilamar sehingga tidak bisa menemaninya jalan-jalan.

***

Hafidzah Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang