8. Terus Berdoa

80 5 0
                                    

Terik semakin tinggi. Nafata terbangun karena mendengar suara adzan. Ia kaget karena mendapati diri tertidur setelah mendengar kabar dari mba Hafa yang sangat mengejutkan dirinya.

"Astaghfirullah," ucap Nafata lirih. Tak menunggu lama Nafata segera menuju kamar mandi untuk berwudhu, kemudian sholat dzuhur.

Jam dinding di sudut kamar Nafata mulai menunjukkan pukul setengah satu  siang. Nafata segera melipat mukena birunya setelah selesai sholat. Ia teringat sesuatu. Sesegera mungkin Nafata meletakkan mukenanya di atas meja rias, lalu meninggalkan kamarnya menuju suatu tempat.

Nafata dikejutkan dengan suatu hal. Kamar tamu yang tadinya ditempati laki-laki tidak jelas itu kini sudah tertata rapi dan kosong. Nafata segera mencari laki-laki itu di balkon. Namun nihil, ia hanya mendapati sepasang kursi dan sebuah meja bundar kecil di tengahnya.

"Mbok...mbok Mirsa, mbok...!" seru Nafata sedikit panik. Ia segera menghampiri mbok Mirsa di kamarnya. Ternyata mbok Mirsa sedang sholat. Akhirnya Nafata memilih menunggu sebentar meski sedikit gelisah.

Setelah mendapati mbok Mirsa melipat mukena, Nafata segera menghampirinya lalu bertanya kemana perginya laki-laki tidak jelas itu.

"Begini, Non, tadi dia tanya sama Mbok, mengapa dirinya bisa ada di sini, lalu Mbok menjelaskan bahwa dia telah menyelamatkan Non dari preman-preman jahat dan Non membawanya kemari, begitu Non, lalu sehabis itu dia pergi terburu-buru tanpa berbicara sepatah kata pun," jelas mbok Mirsa sembari meletakkan mukenanya ke dalam lemari.

"Mbok...," panggil Nafata dengan nada bingung.

Mbok Mirsa membalikkan badan menghadap Nafata dengan raut tenang setelah menutup lemari, "Iya, Non?"

"Dari mana Mbok tahu kalau Nafa di jahati preman, dan bagaimana Mbok tahu laki-laki itu menyelamatkan Nafa, bukannya semenjak laki-laki itu ada di sini Mbok belum pernah sekalipun bertanya tentang laki-laki itu, Nafa juga tidak merasa menceritakan tentang kejadian semalam maupun tentang siapa laki-laki itu," Nafata mengerutkan kening bingung dan curiga. Laki-laki itu juga sepertinya tidak ingat kejadian semalam. Bagaimana mbok Mirsa tahu?

"Em..., itu Non, Mbok hanya mengarang cerita, mbok pikir melihat dia yang sepertinya kesakitan cukup untuk menjadi alasan pengarangan cerita yang Mbok ceritakan," jawab mbok Mirsa sedikit gugup.

"Maafkan Mbok, Nduk," batin mbok Mirsa seraya menunduk.

"Mbok, sejak kapan Mbok berbohong, kenapa Mbok nggak tanya saja sama Nafa," ucap Nafa sedikit sedih dan menunduk.

"Iya, mbok minta maaf, Non," mbok Mirsa mengangkat kepalanya perlahan memberanikan diri melihat Nafata, "lho, kenapa nangis, Non?"

Nafata hanya membalasnya dengan isakan. Sedangkan mbok Mirsa mencoba menenangkannya dengan memegang kedua tangan Nafata. Nafata memeluk mbok Mirsa. Ia harus sedikit menunduk karena tinggi mbok Mirsa tidak mencapai tinggi badannya.

"Nafa hanya tidak rela melihat mbok berbohong, hiks...hiks...," ucap Nafata masih dengan isakan sedih.

Mbok Mirsa membalas pelukan Nafata dengan penuh kasih dan sedikit air mata yang menetes di pipi keriputnya.

"Nduk, maafkan Mbok, kebohongan adalah hal yang buruk, terkadang seseorang harus berbohong karena kurangnya iman kepada Sang Pencipta namun takut pada makhluk yang diciptakan-Nya, tapi apadaya Mbok, Nduk, Mbok hanya manusia biasa yang bodoh dan masih kurang taqwa kepada Allah, saat situasi memaksa pasti Mbok selalu berbohong, tapi ingat nduk...," mbok Mirsa mendekatkan mulutnya ke telinga Nafata masih dalam pelukan, "kebaikan akan selalu menang, suatu rencana yang diawali dengan kebohongan dan melalui jalan yang melenceng dari ajaran Allah pasti akan berujung gagal, mbok yakin kita pasti akan menang suatu saat nanti," lanjut mbok Mirsa dengan berbisik sangat lirih di telinga Nafata.

Hafidzah Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang