3. Di luar bersama malam

164 11 0
                                    

Waktu terus berjalan. Tak terasa, Nafata sudah selesai membaca Al-Qur'an dan sudah menyetorkan hafalannya. Suasana di dalam rumah sederhana itu kini terasa sepi. Adik-adik kecil Nafata sudah pulang sedari tadi. Kini hanya ada mba Hafa dan Nafata sendiri yang sedang duduk berhadapan dan hanya dibatasi oleh sebuah meja kayu yang panjang.

"Owh iya mba, pak Ustadz kemana?" tanya Nafata sembari menutup Al-Qur'annya yang terletak di atas meja.

"Lagi pergi, ada urusan katanya," jawab mba Hafa singkat.

"Owh...." tanggap Nafata sembari memasukkan Al-Qur'annya kedalam tas kecil hitam polos yang sedari tadi berada disampingnya.

"Emm, mba, besok ada acara nggak?"  tanya Nafata sembari menggendong tasnya.

"Besoknya kapan?"

"Ya, besoklah intinya," jawab Nafata sedikit tertawa.

"Ada, besok pagi masak, bersih-bersih, mandi, makan pagi, terus siangnya makan siang, terus sorenya masak lagi sambil beres-beres, terus malamnya ngajar deh, habis selese ngajar langsung tidur deh, hahaha."

Mba Hafa terus tertawa,  sedangkan Nafata hanya berdecak kesal.

"Ya maksudnya bukan gitu mba, acara penting gitu yang nggak sering dilakuin sehari-hari," protes Nafata sedikit cemberut.

"Iya-iya. Insyaallah, kalau acara penting nggak ada, paling ya, adanya acara sehari-hari, hahaha, lagian kamu si tanyanya nggak jelas," jelas  mba Hafa masih dengan tawa gelinya.

"Ee..., mba Hafa tuh sukanya ngeledek aku."

"Iya, nyerah deh, maaf-maaf."

"Owh iya, kalau gitu, besok mba Hafa mau nggak nemenin aku jalan-jalan?"

"Oke, jam berapa?"

"Jam lima pagi," jawab Nafata giliran meledek.

"Ih, kamu ini, ya sudah besok aku nggak mau ikut kamu."

"Eh-eh, jangan gitu dong mba, iya deh, aku minta maaf juga," ucap Nafata seraya memohon kepada mba Hafa yang memalingkan muka darinya.

Seketika, mba Hafa menatap Nafata serius. Dan tiba-tiba saja-----

"Iya, lagian aku bercanda kali, ha...ha...ha... emangnya aku pernah marah sama kamu, yang ada itu kamu yang marah-marah terus sama aku, hahaha," ucap mba Hafa dengan tawanya yang tiba-tiba saja meledak.

"Is, mba Hafa itu------ya sudah deh, aku langsung pulang aja."

Nafata langsung menyalami mba Hafa dan langsung berjalan secepat mungkin keluar rumah dengan membawa kekesalannya. Sedangkan mba Hafa masih saja tertawa melihat tingkah kekanakkan Nafata.

"Hati hati ya, terus semangat, dua juz lagi khatam lho. Jangan lupa juga muraja'ahnya," pesan mba Hafa seraya memandang punggung Nafata yang semakin menjauh dari ambang pintu.

Nafata menghentikan langkahnya. Ia hanya tersenyum kecil dan mengangguk tanda mengerti. Lalu ia segera melanjutkan langkahnya. Namun, sebelum sempat melangkahkan kaki,------

"Eh, satu lagi, pak Ustadz pesan---"

"Tetap rajin menghafal dan menyetorkan hafalan, meski hanya dapat satu ayat," potong Nafata yang membalikkan badan menghadap mba Hafa.

Mba Hafa hanya tertawa geli. Sedangkan Nafata hanya berdecak dan menanggapinya dengan gelengan kepala seraya tersenyum kesal.

***

Kini, anak itu meninggalkannya sendiri. Membiarkan seorang ibu menangis sesenggukan memikirkannya.

Anak macam apa yang tega meninggalkan ibunya sendiri ketika menangis sesenggukan seorang diri? Tidak. Sepertinya dia bukanlah anak yang seperti itu. Hanya saja emosinya kini sedang memuncak. Ia justru sangat menyayangi sosok ibu yang sudah melahirkan dan membesarkannya seorang diri.

Seorang pria tangguh dan dewasa itu sangat menyayangi ibunya. Tapi kasih sayangnya seperti hancur seketika saja saat sang ibu memaksakan kehendaknya. Hanya hal sepele. Tapi ia hanya belum siap merelakan kebebasannya. Ia masih ingin bersenang-senang. Apalagi dengan sebuah perjodohan. Itu bukanlah hal yang disukainya.

Pria yang cukup aneh. Pria berusia sembilan belas tahun ini sudah cukup dewasa. Apalagi dengan wajah tampan nan rupawannya. Tapi apa? Satu tahun sudah ia lulus dari SMA. Namun masih saja dia tidak mau bekerja. Bahkan kuliahpun hanya berangkat sebulan sekali.

Dia punya hati, tapi sangat keras, dan hanya akan luluh saat berada di hadapan ibunya. Dia juga punya mata, namun sudah dibutakan oleh wanita-wanita jalang yang merayunya. Dan yang lebih parah, dia punya otak, namun sudah dicuci bersih oleh teman-temannya sendiri.

Malam ini memang tidak seperti malam-malam biasanya. Pria itu kini menaiki motor ninja hijaunya dengan amarah yang besar. Dalam hitungan detik saja, ia sudah sampai di sebuah bangunan setengah jadi yang tampak sedikit gelap setelah berhasil melewati lorong-lorong yang sempit.

"Hai bro, tumben lebih awal, biasanya  kalau udah bubar baru dateng, hahahaaaa," ejek salah satu temannya  yang diikuti tawa ledek beberapa teman yang lain.

Pria itu hanya diam. Wajah tampannya yang biasa dihiasi senyum manis pada bibir merahnya kini telah hilang. Hanya wajah kusam dan mata yang sedikit bengkak yang terlihat.

"Eh, lho kenapa si, diem aja, lho abis nangis ya?" tanya temannya yang tadi mengejek.

Lagi-lagi pria itu hanya diam. Tiba-tiba saja, tangannya mengambil dua botol minuman dari beberapa minuman yang sudah ditata rapi diatas meja bundar itu. Tak menunggu waktu lama, pria itu pergi begitu saja meninggalkan teman-temannya yang masih dihantui rasa penasaran.

"Eh bro, lho mau kemana?"

Pria itu tak menghiraukan teman-temannya.

"Udah deh, lho coba telfon Leo, siapa tau Leo bisa nenangin tu bocah."

***

Malam sudah semakin larut. Lampu-lampu rumah sudah hampir semuanya padam. Jalanan juga sudah sangat sepi. Terlihat Nafata sedang berjalan sendiri di trotoar. Sesekali ia melihat jam hitam di tangan kirinya. Tidak seperti biasa, hati Nafata sedikit tidak tenang saat jam ditangannya menunjukkan pukul sembilan lebih lima menit.

"Astaghfirullah, aku lupa tadi nggak sholat isya dulu di rumah mba Hafa," gumam Nafata lirih. Sekarang Nafata sangat cemas. Bukan takut dengan malam, tapi takut dengan yang menciptakan malam.

"Ya Allah, gimana ini," Nafata berfikir sejenak. Melihat ke jalan raya di samping kanannya. Tapi nihil. Tak ada yang muncul di kepalanya kali ini.

Nafata melanjutkan perjalanannya. Tiba tiba saja-----Nafata segera berlari setelah mengarahkan pandangannya ke sebuah lorong disamping kirinya. Ia menghampiri segerombolan bapak-bapak yang sedang berkumpul di pos ronda. Sepertinya mereka akan ronda malam.

Sesampainya di sana, Nafata segera mengucapkan salam.

"Assalamu'alaikum, permisi bapak-bapak, saya mau tanya, masjid dimana ya pak?" tanya Nafata sedikit canggung dan terburu-buru.

"Owh, masjid neng. Kalo disini mah nggak ada masjid, adanya mushola, itu di sebelah sana," jawab salah seorang bapak sembari menunjuk sebuah mushola yang tidak terlalu jauh dari tempatnya kini berada.

"Owh iya, terimakasih banyak ya pak, saya permisi dulu bapak-bapak, mari, assalamu'alaikum."

"Iya neng, wa'alaikumsalam,"

***

Hafidzah Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang