Kicaun burung menyambut datangnya surya dari ufuk timur. Tipisnya awan menampilkan birunya langit cerah yang dihiasi semburat cahaya kuning terang. Nafata baru saja selesai menghafal dan memuraja'ah hafalannya pagi ini. Setelah melipat mukenanya, sesegera mungkin ia menghampiri seorang laki-laki yang sedang turun dari tempat tidur dan berjalan sengkoyongan sembari memegangi kepalanya.
Nafata menuntun laki-laki yang sudah menolongnya tadi malam. Seketika saja, laki-laki itu tersentak kaget dan menatap Nafata dengan raut wajah bingung. Nafata hanya diam dan balik menatap laki-laki itu.
"Siapa lho?!" tanya laki-laki itu sembari mendorong Nafata, hingga Nafata terjatuh di lantai.
"Aw...," Nafata tidak menjawab apa-apa, ia hanya memegangi kaki kananya yang masih belum sembuh karena tersleo tadi malam.
"Heh, lho nyulik gue, ya? Mentang-mentang gue nggak mau dijodohin sama lho jadi lho berhak nyulik gue gitu?!"
Nafata masih diam dan memegangi kaki kanannya lalu berusaha berdiri menahan sakit. Tapi setelah berhasil berdiri, Nafata justru meninggalkan laki-laki itu tanpa berbicara sepatah katapun.
Laki-laki itu hanya terdiam bingung. Pandangannya mengikuti langkah kaki Nafata yang berjalan dengan menyeret kaki kanannya menuju meja di samping jendela kamar.
Saat Nafata kembali di hadapannya, sepertinya laki-laki itu masih ingin sekali memarahi Nafata. Namun Nafata sudah lebih dulu mengulurkan tangan kanannya yang membawa sebuah obat.
"Ini obat sakit kepala, minumlah lalu segera bersihkan diri dan sarapan di bawah," ucap Nafata dengan wajah datar.
Laki-laki itu masih diam dalam kebingungan. Tapi kepalanya sedikit pusing. Tanpa berkata-kata lagi, laki-laki itu menerima obat yang dibawa Nafata. Tak menunggu lama, Nafata juga memberikan air minum yang ia bawa, lalu sesegera mungkin ia pergi ke bawah untuk menyiapkan makan pagi.
"Hai...," laki-laki itu berusaha menghentikan Nafata, akan tetapi Nafata terus berjalan dan hendak membuka pintu tanpa menghiraukannya.
"Hai tunggu...," laki-laki itu mengejar Nafata dan menariknya ketika Nafata membuka pintu.
"Aw...," Nafata hampir saja terjatuh jika laki-laki itu tidak menangkapnya. Tapi sesegera mungkin Nafata berusaha berdiri sendiri.
"Hai, apa yang kau lakukan?!!" tanya Nafata sembari memijat kaki kanannya.
"Gue? Apa yang gue lakukan? Gue cuman berusaha manggil lho, dan lho hampir aja jatuh, jadi...," ucap laki-laki itu sedikit takut karena kegalakan Nafata.
"Ya, aku tahu, tapi kamu nggak tahu kalau---," ucapan Nafata terhenti karena ia merasa sangat kesal dan kemudian meninggalkan laki-laki itu.
"Hai, tunggu," laki-laki itu menghentikan Nafata lagi dengan memegang pergelangan tangan Nafata.
Langkah Nafata terhenti, ia membalikkan badan dan melepas tangannya dari genggaman laki-laki itu dengan sangat kasar.
"Apa lagi, ha?! Setelah kau tadi menuduhku menyulikmu, lalu membuatku hampir saja terjatuh, sekarang apa lagi yang kau mau?!"
Laki-laki itu terdiam kaku. Ia sangat takut sekarang dengan amarah Nafata yang tidak main-main.
"Owh iya, dan ingat satu hal ya, kamu nggak boleh sembarangan megang tangan aku, mengerti?!" tegas Nafata.
"I...iya, tapi...," laki-laki itu gelagapan.
"Apa?" tanya Nafata sadis.
"Lho tadi nyuruh gue buat bersihin diri, tapi gue nggak tahu di mana kamar mandinya," ucap laki-laki itu sangat hati-hati seraya menunduk ketakutan berharap Nafata tidak marah-marah lagi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hafidzah
General FictionLembaran baru gadis yang baru saja lulus sekolah SMA itu kini telah terbuka lebar. Gadis jelita penghafal Al-Qur'an, yang selalu menjaga dan menutupi auratnya. Teka-teki, misteri, dan berbagai ujian tak hentinya selalu mengiringi setiap hembusan...