"Iya eh maksud gue di gendong kak! Iya di gendong. Kakak di gendong sama kak Juna ke sini" jelas Desi yang berhasil membuat Veli melebarkan matanya ke arahku. Seakan - akan dia baru saja terbangun dari mimpi buruk.
"Lo gendong gue?" tanyanya.
"Eh?" kagetku. "I...iya"
Lah! Kenapa Aku jadi mendadak gugup seperti ini.
"Biasa aja kali kak mukanya" ujar Desi kepadaku. "Kayaknya gue harus pergi dari sini. Soalnya kak Veli udah sadar sepenuhnya. Gue permisi ya kak" Desi mengambil gelas di atas nakas lalu berjalan pergi ke luar.
"Kenapa lo gendong gue? Kita kan bukan muhrim! Cowok dan cewek gak boleh bersentuhan Jun, haram!" Veli menekankan kata - kata yang terakhir.
"Gue terpaksa" ujarku singkat.
"Hah? Maksudnya?" Veli masih menatap bingung ke arahku.
Rasanya tidak mungkin jika aku menjelaskan kspadanya kalau tidak ada yang menolong dia sewaktu pingsan tadi. Bisa - bisa dia malah sakit hati lagi dengernya.
"Kayaknya gak usah gue jelasin Vel" ujarku kepadanya.
"Kalo lo gak jelasin, berarti lo gue anggap modus ka--
" lo bakalan sakit hati kalau denger penjelasan gue" ujarku memotong pembicaraannya. Entah mengapa dia menjadi banyak bicara seperti ini kepadaku.
"Jelasin" ujarnya singkat.
"Ok karena itu mau lo gue akan jelasin kenapa gue bisa gendong lo sampe ke uks. Sebenarnya Gue terpaksa gendong lo sampe ke uks karena gak ada satu pun orang di kelas kita yang bergerak buat nolongin lo. Padahal mereka udah disuruh sama pak Mustofa buat gendong lo dan bawa lo ke uks. Tapi Mereka masih biarin lo aja tergeletak di lapangan Vel." jelasku kepada Veli.
Selama mendengarkan penjelasanku Veli menundukkan kepalanya dalam. Sampai - sampai aku tidak bisa melihat wajahnya.
"Jadi itu alasannya" gumam Veli namun masih terdengar di telingaku karena suasan uks yang tenang.
"Iya gue minta maaf karena udah gendong lo ke uks. Gue terpaksa ngelakuin itu karena gak ada yang nolongin lo dan gue gak ada niat buat modus sama lo" jelasku lagi.
"Makasih lo udah bantuin gue." ujar Veli namun masih dengan kepala tertunduk. Lalu dia pun hendak berdiri dari duduknya, "aw!" ringisnya kesakitan sambil mencengkeram kepalanya dan terduduk kembali di ranjang.
"Eh kenapa Vel?" tanyaku khawatir.
"Gapapa" gumamnya namun mencengkeram kepalanya kuat dengan kedua tangannya.
"Vel kayaknya kepala lo sakit banget, gue anterin lo ke rumah sakit aja ya" tawarku kepadanya.
"Gak usah repot - repot Jun. Gue gapapa" ujarnya kembali mencoba untuk berdiri. Namun dia terduduk kembali sambil mencekeram kepalanya kuat. Sepertinya Veli sedikit kesulitan untuk berdiri karena kepalanya yang sakit.
Aku tidak tau kenapa ketika Veli hendak berdiri kepalanya mendadak sakit. Apa itu efek dari pingsan tadi, atau ada sebab lain.
"Yaudah kalo gitu, gue anter lo pulang, Ayo gue bantu lo berdiri" Aku pun memegang kedua bahu Veli dan membantunya untuk berdiri. Perlahan - lahan dia mulai bisa menegakkan badannya. Setelah itu aku menuntunnya keluar dari UKS dan menuntun dirinya menuju parkiran motor.
"Jun, gue bisa jalan sendiri" ujar Veli.
Aku pun langsung menjauhkan tanganku dari bahunya.
"Kepala lo gak sakit lagi?" tanya ku kepada Veli yang berjalan di depanku dengan langkah yang sangat pelan sekali.
Dia pun hanya mengangguk. Aku pun hanya mengikutinya dari belakang takut - takut dia bisa pingsan lagi.
Setelah sampai di parkiran motor, aku pun langsung menuntunnya untuk duduk di jok motorku.
"Lo tunggu disini, gue mau ambil tas kita di kelas"
Aku pun langsung berjalan cepat menuju kelasku, Sesampainya di dalam kelas, tidak ada lagi orang di sana. Sepertinya teman - teman sekelasku telah pulang semua. Untung saja pintu kelas belum dikunci.
Setelah aku mengambil tas ku dan tas Veli, aku pun langsung berlari keluar kelas menuju parkiran motor.
***
Aku mengendarai motorku dengan pelan. Veli yang duduk di belakangku tidak bicara sepatah kata pun. Kecuali ketika aku menanyakan jalan menuju rumahnya.
"Di depan ada perempatan, belok ke mana Vel? Atau lurus aja?" tanyaku.
"Belok kanan" ujar Veli.
Aku pun membelokkan motorku ke kanan karena lampu lalu lintas masih hijau.
"Setelah ini ke mana?" tanyaku.
Aku memang tidak tau rumah Veli di mana. Karena selama dua tahun lebih sekelas dengannya, aku memang tidak pernah main ke rumah dia.
"Masuk ke dalam gang sebelah kiri" ujar Veli.
Aku pun membelokkan motorku dan masuk ke gang yang lumayan sempit.
"Stop" ujar Veli.
Aku menghentikan motorku di depan sebuah rumah yang ber cat warna hijau dan dikelilingi oleh pagar besi berwarna hijau juga.
Veli langsung turun dari atas motorku dengan sangat pelan dan berdiri di sampingku.
"Makasih" ujarnya dengan suara yang pelan dan terdengar lesu.
"Iya sama - sama" ujarku dengan seulas senyum. "Yaudah lo masuk dulu sana, baru gue pergi dari sini" ujarku melihat Veli yang sepertinya sedang menungguku untuk beranjak pergi dari depan rumahnya.
"Gue mau tanya sama lo" ujarnya.
Aku mengerutkan kedua alisku. "Mau tanya apa?"
"Kenapa lo nolongin gue? Kenapa lo gak biarin aja gue pingsan di lapangan?"
"Gue gak tega liat lo pingsan di lapangan" ujarku.
"Kenapa lo gak tega? Bukannya lo benci gue, sama seperti yang lain"
"Gue gak benci sama lo," aku mematikan mesin motorku. "Gue cuma kecewa melihat lo yang marah - marah di kelas waktu itu" jelasku sambil menatap ke arahnya tajam.
"Gue marah - marah karena buku gue ilang" ujar Veli balas menatapku.
"Tapi waktu itu buku lo gak hilang. Buktinya buku lo ada di laci meja lo sendiri"
"Buku gue hilang Jun. Sebelum gue di keluarin dari kelas sama pak Aradi, gak ada satu pun orang yang ngebalikin buku gue. Gue udah coba tanya sama mereka yang minjem buku gue. Tapi gak ada satu pun yang ngerespon gue" Veli menatap ke arahku sebentar.
"Sampai akhirnya gue di keluarin sama pak Aradi. Bukan cuma sekali atau dua kali buku gue hilang Jun. Tapi sering, sering banget buku gue hilang oleh mereka yang berada di kelas. Oleh karena itu gue waktu itu marah - marah. Karena kelakuan mereka udah kelewatan!" Veli mengelap air mata yang mulai keluar di pipinya.
"Gue juga heran kenapa buku gue tiba - tiba aja ada di laci gue waktu itu. Gue yakin Jun memang ada yang jailin gue waktu itu. Tapi gue gak tau siapa"
Veli menangis, air mata nya bercucuran deras membasahi pipinya serta kerudung yang di kenakannya.
Sementara aku masih tertegun mencerna semua kalimat yang di katakannya. Aku merasa ikut sedih. Walaupun aku memang belum pernah merasakan kejadian yang seperti itu, tetapi ketika melihat Veli menangis pilu seperti itu entah mengapa aku juga ikut merasakan apa yang dia rasakan.
"Maaf gue banyak cerita sama lo."
Veli masih sesenggukan namun tidak menangis lagi.
"Gue masuk dulu. Lo hati - hati di jalan."
Veli pun beranjak dari hadapanku dan berjalan membuka pintu pagar rumahnya. Lalu masuk ke dalam pekarangan rumahnya.
Aku menyadari walaupun Veli banyak diam di kelas, ternyata dia memendam begitu banyak kepedihan yang dia rasakan selama menempati kelas yang dia duduki sekarang. Bahkan aku tidak tau jika dia sering dijailin oleh teman sekelasku. Aku jadi penasaran siapa orang yang sering mengambil buku Veli dan menghilangkannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
gadis Pendiam
Teen FictionDia memang pendiam tetapi tidak bodoh. Dia pintar hanya saja tertutupi oleh diamnya.