Sejak aku menjalin hubungan dengan Rika, aku tak lagi memanggil namanya. Entah kenapa aku tak lagi bisa memanggilnya. Jantungku berdetak lebih keras saat aku berusaha menyebutkan namanya, bahkan terkadang aku tak bisa bernafas. Makanya aku tak pernah memanggil namanya.
Ternyata dia menyadarinya dan mencoba memberikan panggilan lain yang bisa aku ucapkan dengan mudah, tapi tetap saja terasa sulit bagiku.
Tak jarang aku memanggilnya 'hei'. Ya, walaupun terkadang kulihat wajahnya sedikit cemberut saat aku memanggilnya seperti itu. Habis mau bagaimana lagi, aku tak bisa memanggil namanya.
"Ayo panggil aku Rika, Ri - ka." Ucapnya sembari mengajari ku cara mengucapkan namanya.
"Gak bisa." Kataku.
"Ayo coba dulu. Ri - ka, gitu."
"Aku kan udah bilang gak bisa, udah ah ntar kapan-kapan aku coba dech."
Wajahnya kembali cemberut. Biarlah pikirku, mau bagaimana lagi kalau memang tidak bisa.
Di tempat kerja kami berusaha sebisa mungkin tak menunjukan gerak gerik yang terlalu mencolok agar tidak ada yang tau tentang hubungan terlarang ini. Tapi tetap saja sepandai-pandainya kami menutupi pasti akan ketahuan juga. Memang tidak ada yang menyinggungnya tapi aku tahu dari bagaimana cara mereka melihatku, sudah tidak seperti dulu.
Mei dan Ika pun sepertinya telah mengetahuinya. Mereka juga berubah. Makanya saat Rika membuat nama panggilan untuk kita, aku menolaknya. Pernah suatu ketika Rika memanggilku dengan 'ma', aku tak tahu apa arti dari 'ma' itu, tapi semuanya memandangku dengan tatapan yang aneh.
Aku mencoba senetral mungkin saat berada dihadapan banyak orang. Ya, walaupun tetap saja saat mata kami beradu, orang-orang disekitar kami pasti akan tau tentang kami.
Hari ini aku keluar dengan Rika. Seperti biasa, saat sedang libur aku pasti menghabiskan waktuku dengan nya. Kami akan pergi sore hari saat Rika pulang kerja. Dia akan menjemputku dulu dirumahku.
Saat dijalan, Rika meraih tanganku agar aku mendekat padanya. Dia melingkarkan tanganku hingga kedepan perutnya. Aku yang canggung dan tak terbiasa seperti itu, perlahan menarik tanganku dan meletakanya kembali keatas pahaku. Dari belakang aku hanya bisa melihat punggungnya tapi entah mengapa jantung ini tak mau tenang.
Kembali Rika menarik tanganku, berharap aku akan memeluknya dari belakang selayaknya pasangan-pasangan lain saat berkendara dengan motor. Tapi lagi-lagi aku menolaknya.
Rika memutar spion kearahku sehingga aku bisa melihat pantulan wajahnya dari sana. Aku berpikir tak mungkin jika aku menolaknya terus seperti ini dan akhirnya aku beranikan diriku untuk menggenggam pinggiran jaket yang dikenakanya. Ya, untuk permulaan menurutku itu sudah lebih baik daripada tidak. Kulihat dia tersenyum kecil dengan apa yang kulakukan.
Aku merasa sedikit lebih dekat lagi dengan Rika. Sentuhan-sentuhan kecil yang dia berikan membuatku seakan yak bisa lepas dari belenggunya.
"Coba panggil aku pa!" Katanya setelah mengantarku pulang.
"Kenapa aku harus panggil kamu gitu?"
"Gak papa, kan aku biasanya panggil kamu ma jadi kamu panggil aku pa. Papa sama mama." Katanya sambil cengar cengir.
Lebay, pikirku. Aku dulu selalu menghina pasangan-pasangan yang melakukan panggilan sayang papa mama lah, ayah bunda lah dan panggilan-panggilan lain yang menurutku terkesan berlebihan. Dan sekarang aku harus melakukan itu.
"Gak ah, lebay." Kataku.
"Gak papa, ayo coba!"
"Iya dech, pa." Kata terakhir terasa berat kuucapkan.
"Apa? Gak denger nich."
"Pa."
"Lagi-lagi!"
"Udah ah."
"Ayo panggil sekali lagi."
"Pa."
"Apa sayang?"

KAMU SEDANG MEMBACA
Aku Kamu dan Dunia
RomanceBagaimana seseorang menjadi seorang lesbian dan kisah cintanya diantara keluarga, sahabat dan lingkungan sekitarnya.