7. BADAN PENYOK

342 45 8
                                    

"Aaaaaa!"

Mendengar itu, orang di hadapan Karen langsung terkesiap berdiri tegak dan membelalakkan matanya. Barulah Karen mengetahui siapa orang itu.

"A-Aretha?" ucap Karen.

"Suara lo bikin kaget tau, Ren." Badan Aretha kembali bersandar di dinding.

"Bukannya lo tadi di kamar? Napa tiba-tiba disini?" Karen menjadi bingung tujuh keliling.

Dengan wajah lesunya Aretha menjawab, "tadi lo nyuruh gue temenin, kok jadi lo yang bingung?"

"Ya bingung lah, orang tadi aja lo gak mau diajak kesini."

"Bodo ah, udah ayo kembali. Masih ngantuk gue."

Aretha merangkul Karen lalu berjalan kembali ke kamar masing-masing.

-

Sinar matahari memasuki kamar para remaja yang masih asik tidur itu melalui jendela kaca. Arta yang tidur sendirian menggeliat dan perlahan membuka matanya. Pandangannya menatap sekitar, ia kira kejadian kemarin itu hanyalah mimpi, ternyata semua itu nyata.

Tubuhnya berubah posisi menjadi duduk, mengumpulkan nyawa dan juga tenaganya. Sepersekian detik setelahnya ia mengambil kapak yang ia taruh di dekat pintu, lalu keluar membangunkan teman-temannya yang lain.

Sulit sekali rasanya membangunkan para gadis-gadis itu, dibangunkan malah dibentak. Apalagi terakhir ia membangunkan Aretha dan Anya yang sekamar. Tingkat kesulitannya lebih dari membangunkan Karen, Lea, dan Farah. Anya saja langsung bangun, sayangnya Aretha harus dijewer kupingnya, baru gadis itu bangun.

"Lo bangunin tuh yang lembut kek," rutuk Aretha.

"Eh si kampr*t, gue teriakin aja belum bangun gemana gue lembut."

Mereka semua yang berkumpul di tempat Aretha tertawa, namun sedetik kemudian mereka mengondisikan tawa mereka, berhati-hati jika ada yang mendengar.

"Ah bodo ah. Udah ayo keluar." Masih dengan muka bantal dan kusutnya Aretha melangkah keluar, diikuti oleh kekehan teman-temannya yang mengikutinya dari belakang.

"Si kampr*t gak bawa senjatanya, tiba-tiba ada zombie mampus lo." Arta menyusul Aretha dan menyodorkan kapak milik gadis itu. Dengan kasar Aretha menerimanya tanpa mau memandang wajah Arta.

Tidak ada lagi percakapan diantara mereka semua. Terkecuali ketika sudah masuk di dalam mobil, Anya mengangkat suaranya terlebih dahulu.

"Sekarang kemana, Ta?"

Terdengar helaan napas dari Arta, matanya menatap lurus ke jalan di depan, seakan berpikir keras untuk menjawab pertanyaan sederhana namun begitu sulit dari Anya.

"Kita ke pusat kota."

Seakan mengetahui para gadis-gadis itu akan memprotes, Arta langsung mengangkat sebelah tangannya terlebih dahulu, tanda bahwa ia ingin mereka semua diam dan mendengarkan penjelasannya, tanpa harus memprotes, bentak, atau sebagainya.

"Selain ke kota mau kemana? Bukannya lebih baik kita cari tahu penyebabnya? Kalau tahu penyebab bisa jadi tahu solusi."

"Kali ini gue setuju sama Arta," timpal Lea.

Mereka semua mengernyit, kemarin Lea memaki Arta habis-habisan, tapi sekarang Lea justru menyetujui pendapat Arta. Seketika senyum Arta mengembang meski simpul. Setidaknya rencananya kali ini bisa diapresiasi.

"Udah ngapain bengong gemb*l, jalan cepet!" desak Aretha.

Akhirnya Arta menyalakan mesin mobil, kemudian melaju ke arah kota.

-

Sepi, sunyi, senyap, layaknya kota mati. Itulah gambaran kota saat ini. Melewati ventilasi cahaya matahari memasuki ruangan, dimana Adel, Gita, dan Citra tempati untuk beristirahat. Cahaya itu begitu tajam dan menerpa wajah ketiga gadis itu, sehingga mata mereka berangsur-angsur terbuka.

Kali ini takdir masih berpihak pada mereka, sehingga tak satupun nyawa mereka melayang menembus langit. Kemarin saat aksi dikejar oleh segerombolan mayat hidup, Adel, Gita, dan Citra mengandalkan keahlian mereka dalam bermain skateboard untuk lari.

Ketiga gadis itu berlari tanpa arah, yang pada intinya mereka bisa lolos dan berhenti dikejar atau mungkin menghilangkan jejak mereka dari zombie-zombie itu. Dan syukurlah mereka bisa menghilangkan jejak mereka ketika menemukan pabrik yang sudah terbengkalai setahun lalu.

Pabrik itu sudah kosong tak berpenghuni, bahkan barang-barang disana saja sudah tidak ada, mungkin ada beberapa, tapi tidak banyak.

"Duh, badan gue kayaknya penyok deh," keluh Adel.

"Sama gue juga. Gemana kagak, maen skateboard sampe berkilo-kilo meter, gak minum lagi," balas Citra.

"Eeeeh si hembodi, pake ingetin minum lagi, tambah aus kan jadinya," gerutu Gita.

Adel berdiri setelah semalaman berbaring di atas lantai yang kerasnya kayak hati mantan dan sudah pasti membuat tubuh sakit. Dengan hati-hati Adel meregangkan otot-otot tubuhnya, sudah tahulah bagaimana sakitnya.

"Del, Aretha sama yang lain kira-kira gemana yah kabarnya?" tanya Citra.

Seketika Adel mengernyit, ia menatap Citra dengan sinis. "Ngapain lo nanyain dia ke gue? Care banget lo," jawabnya ketus.

"Ya gue kan cuman nanya doang. Lagian kalau mereka masih hidup kan kita bisa ajak mereka kerja sama." Citra ikut berdiri di samping Adel. Tak mau ketinggalan Gita pun berdiri.

"Ngapain sih mikirin dia. Mau dia hidup kek, hidup kek, pingsan atau jadi zombie sekalipun gue gak peduli!"

"Tau nih si hembodi, jangan-jangan lo suka sama Arta yah, hayo ngaku lho," tukas Gita.

"Kagak lah, gila aja gue suka sama dia," bantah Citra.

Adel mengabaikan kedua temannya yang beradu mulut, ia mengambil skateboardnya dan berjalan ke luar pabrik. Baru sadar akan kepergian Adel, Gita dan Citra langsung menyusul dan tak lupa membawa papan skateboardnya itu.

"Eh, Del! Tunggu!" pekik Gita sembari berlari menyusul Adel.

Setelah berhasil menyusul, Gita dan Citra mengambil napas dalam-dalam dan menghembuskan perlahan. Mereka baru tahu bahwa langkah kaki Adel sangat panjang, sampai-sampai mereka baru bisa menyusul Adel di pinggir jalan raya.

"Perasaan tinggi lo gak sampe 170 160, kok cepet banget jalan lo?" tanya Gita.

"Emang, kaki gue gak panjang kok, lo dua aja yang jalannya kek siput."

"Iya iya, anak karate sabuk coklat mah bebas," pasrah Gita.

Adel menurunkan skateboardnya ke jalan, kemudian malaju di jalan raya dengan skateboardnya.

"Woy nak karate! Tunggu!" sergah Citra.

Dan lagi-lagi kedua gadis itu menyusul Adel, dengan papan andalannya itu. kali ini mereka masih bisa santai, melaju pelan-pelan di jalan raya yang sudah kosong tanpa ribun kendaraan, entah apakah mereka akan bertemu segerombolan mayat hidup nantinya atau tidak. Yang pasti kondisi kota ini belum aman sepenuhnya, seandainya aman, kemana zombie-zombie itu pergi?

"Del, apa kita gak kembali ke rumah aja?" usul Citra.

"Ke rumah belum tentu aman, hembodi!" bantah Adel.

"Iya juga sih."

"Terus kita mau kemana?" tanya Citra.

"Ke rumah jodoh gue," jawab Adel.

"Orang nanya serius juga."

Tepat di perempatan jalan, Adel melaju lebih dahulu tanpa memperhatikan sekitar. Sementara Gita dan juga Citra berhenti dan berteriak bersamaan.

"ADEL HATI-HATI ADA..."

BRAKK

-

Attack of Zombies Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang