BAB 4: Pria dan Lidahnya

16.9K 1K 37
                                    

Selamat membaca 😊

۞۞۞

Moira berlari mengikuti sebuah cahaya. Bahunya naik turun, peluh menghiasi wajahnya. Beberapa kali ia terjatuh hingga membuat lututnya terluka. Air matanya jatuh ketika melihat gamisnya robek dan menampilkan lututnya yang terluka. Tubuhnya kian bergetar, rasa takut menyelimutinya sekarang. Lalu sebuah tangan terulur membuat Moira mendongakan wajahnya. Terlihat seulas senyum menghiasi wajah orang yang mengulurkan tangan kepadanya.

"Ayah," bisik Moira sambil terisak.

Ayah mengangguk, lalu Moira menerima uluran tangannya dan sekarang mereka berdiri saling berhadapan. Ayah terlihat berbeda, begitu tampan dengan jubah putih dan sorban yang terlilit di kepalanya.

"Moira, jangan berlari. Jangan kejar cahaya itu, belum saatnya," nasihat Ayah seraya mengelus puncak kepala Moira yang berbalut kerudung.

"Tapi di sini gelap, Yah," protes Moira seraya terisak. "Moira takut, enggak ada siapa-siapa."

"Itu," tunjuk Ayah. Moira mengikuti ke mana arah telunjuk sang ayah dan mendapati seorang pria yang entah siapa. Moira tak dapat melihatnya dengan jelas. "Dia yang akan jadi cahaya Moira."

"Siapa dia?" tanya Moira penasaran, air matanya ia hapus dengan kasar menggunakan punggung tangannya.

"Moira akan tahu nanti," ucap Ayah membuat teka-teki. "Apabila Moira taat kepadanya, cahaya itu yang akan Moira dapat. Sebaliknya, apabila Moira tidak taat kepadanya, ke sana Moira akan berjalan." Ayah menunjuk ke arah sebelah cahaya berasal. Di sana begitu gelap dan mengerikan.

"Moira takut," rengek Moira seraya memeluk lengan Ayah erat.

"Jangan takut ketika ada iman di hati Moira." Ayah kembali menasehati. "Ayah pamit dulu, ya?! Assalamualaikum," pamit Ayah kemudian. Detik berikutnya Ayah tak lagi berada di hadapan Moira, Ayah berjalan seperti ditarik angin begitu cepat hingga Moira tak dapat mengejarnya.

Moira berlari seraya meneriaki ayahnya, tapi usahanya itu nihil. Ayah tak mengindahkannya sama sekali.

"Ayah!" tiba-tiba semuanya terang. Moira mengerjapkan matanya beberapa kali, dadanya kembang kempis, napasnya memburu.

"Moira!" teriak seseorang yang langsung membuat Moira mendapatkan kesadarannya. "Kamu sudah bangun, sayang?"

"Bunda!" Moira memeluk erat ibu mertuanya. Tangisnya tumpah mengingat tadi hanya sebuah mimpi, dan mengingat Ayah telah tiada adalah kenyataan. "Ayah, Bunda. Ayah!" isaknya.

Bunda mengelus punggung Moira bermaksud menenangkan sang menantu. "Sabar, sayang. Ini yang terbaik buat Ayah. Allah sayang Ayah Moira, sekarang beliau enggak sakit lagi," ucap Bunda seraya menangis.

"Bunda." Suara itu berasal dari balik pintu kamar Moira, Adam−ayah mertua Moira−. "Semuanya sudah siap," terangnya kemudian.

Bunda mengangguk. Sementara Moira tangisnya kian pecah. Ia tahu betul maksud dari ucapan ayah mertuanya itu. Berapa lama dirinya tidak sadarkan diri?

"Ayo, sayang. Tabahkan hatimu, beri bakti yang terbaik untuk Ayah hari ini." Bunda menuntun Moira untuk ke luar kamar.

Pandangan Moira sedikit kabur karena air mata yang menggenang di pelupuk matanya. Namun yang pasti, ia dapat melihat di luar kamar begitu padat orang yang melayat. Sampai-sampai jenazah Ayah tak terlihat di tengah sana. Begitu pun dengan karung berisi beras yang berjejer di ruang tengah, amat banyak.

"Jangan risau soal rezeki. Yang meninggal saja masih Allah jamin rezekinya, apalagi yang hidup." Teringat ucapan Ayah dulu ketika dirinya risau soal rezeki. Kala itu Moira ragu untuk melanjutkan studinya karena memikirkan rezeki, ia takut kalau Ayah tak bisa membiayai karena hanya mengandalkan uang pensiunan. Tapi nyatanya sesuai ucapan Ayah, bahkan sekarang ia sudah kuliah sampai semester 5. Lalu, ucapannya begitu nyata tatkala melihat begitu banyak rezeki Ayah saat ini walau beliau sudah pupus.

IKRARTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang