BAB 15: Patah Pucuk

15.5K 748 35
                                    

Selamat membaca😊

۞۞۞

"Cie, yang lagi kasmaran."

Moira lantas menolehkan pandangannya pada sumber suara yang semula pada ponsel digenggamannya. Fara terlihat sedang tersenyum menggoda hingga pipi Moira terasa panas.

Bertukar pesan dengan Ibram saat ini membuat hatinya sedikit berdesir. Walau sekadar pesan ringan yang berisi pertanyaan mainstream seperti sedang apa, sudah makan atau belum, dan lainnya, tetapi mampu membuat otot-otot wajah Moira tertarik semringah.

Selama pernikahan inilah pertama kalinya mereka seperti ini. Biasanya hanya jika ada perlu saja. Perubahan ini tentu disyukuri oleh Moira, walau jauh dilubuk hatinya yang paling dalam rasa khawatir menghantuinya. Takut ini hanya angan-angannya. Takut ini hanya sebuah pengharapan yang Moira ciptakan sendiri dan berakhir kecewa yang didapat. Selagi ada Anindira, Ibram hanya warna abu-abu di pandangan Moira.

"Moira sedang berusaha untuk...." Moira ragu untuk mengatakannya, sebab ini pertama kalinya ia akan membahas persoalan yang selama ini tak pernah menjadi topiknya dengan Fara. "Pendekatan dengan Mas Ibram... bi-biar... ad-ada...,"

"Perasaan diantara kalian berdua?" tembak Fara langsung.

Moira mengangguk malu-malu.

Fara terkekeh. "Baguslah, sekali-kali lo harus jadi agresif. Jangan malu-malu kudanil!"

Moira tertawa geli sambil menyikut lengan Fara pelan. "Apaan sih!" kemudian tawanya sirna berganti raut wajah murung, lalu berkata, "Tapi, Moira takut."

"Takut kenapa?" Fara terheran sambil menelengkan kepalanya.

"Gagal," ucap Moira lirih.

"Kata gagal itu tidak ada selagi masih ada kata mencoba." Fara menasihati bak motivator.

"Moira takut gagal sebab... Fara ingat kawan kak Adam sesama dokter tempo hari yang kita temui di rumah sakit?"

Fara tampak mengingat, keningnya berkerut dengan mata yang melihat ke atas. Detik berikutnya ia berseru, "Ah, iya! Ingat! Ingat! Kenapa emang?"

"Dia... Anindira, kekasih Mas Ibram."

Moira sukses membuat Fara terlonjak kaget, tangannya membekap mulut yang menganga sempurna yang bahkan bola kastik saja bisa masuk ke dalamnya.

"Se-serius?" Fara masih tidak percaya. Memang sih pertemuan mereka tempo hari membuatnya kebingungan sebab dengan tiba-tiba Moira dan kawan abangnya meminta izin pergi berdua ke kantin rumah sakit. Lalu setelahnya Fara tak bertanya apapun sebab kala Moira selesai berbicara dengan wanita itu raut wajah Moira tampak kelam. Raut wajah itu seolah memberi sinyal bahwa ia sedang tak ingin berbicara dengan siapapun, bahkan rencana nonton mereka pun harus dibatalkan.

Moira mengangguk lemah.

"Gila saingan lo berat banget!" komentar Fara kian membuat Moira murung, bahunya mengendur bersamaan dengan tatapan masygul yang dilemparkan pada Fara.

"Maka dari itu...," ucap Moira sedih.

"Secantik apapun dia, semenarik apapun dia, sepintar apapun dia, sehebat apapun dia, tetap saja dia hanya wanita masa lalu yang terleminiasi oleh Allah untuk dijodohkan dengan suami lo. Status lo kuat dimata agama dan hukum, jadi lo jangan takut sama wanita yang jelas-jelas sama Allah udah enggak dipilih." Fara memang selalu menenangkan dibalik sikapnya yang kadang bikin nyebelin dengan suara ceprengnya yang amat cerewet.

Tangan Moira terulur untuk memeluk Fara walau terhalang kursi yang mereka duduki tapi tak mampu urungkan niatnya. "Makasih, Mario Tegangku," kekeh Moira yang kemudian membuat Fara terbahak.

IKRARTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang