BAB 30: Sahaja

13.5K 641 47
                                    

*Sahaja = Sebenarnya*

Selamat membaca :)

***

"Jika kamu berharap kebaikanmu dibalas oleh orang yang kamu tolong, maka kamu akan mendapatkan satu kebaikan dari orang itu saja. Tetapi, jika kamu berharap kebaikanmu hanya untuk mendapat ridho-Nya, maka kamu akan mendapatkan kebaikan yang tak terhitung dari siapa saja."

Wanita itu menarik otot-otot wajahnya. Jika dihitung, itu senyuman kedua yang ia lempar untuk Moira.

"Itu pesan dari Ayah. Moira harap, dokter Anindira mendapatkan kebaikan yang tak terhitung karena udah ikhlas menolong Mas Ibram," terangnya sambil menghentikan langkah yang kemudian disusul oleh Anindira. Saat ini mereka hendak ke masjid bersama setelah tadi Anindira mengecek keadaan Ibram.

Walau itu memang sudah tugas Anindira sebagai dokter untuk menyelamatkan pasiennya, tetapi akan berbeda jika pasien yang ditolongnya adalah Ibram yang notabennya mantan kekasihnya sendiri−orang yang telah menyakitinya. Moira sungguh sangat salut dengan Anindira yang berbesar hati mengalahkan egonya, meski pada mulanya Moira berprasangka buruk pada wanita itu.

"Aku jadi mengerti sekarang mengapa Ibram memilihmu."

"Eh?" Alis Moira bertautan.

Anindira mengulurkan tangannya untuk menyentuh pundak Moira. "Aku lega Ibram bersama orang yang tepat. Meski... ya... dulu aku pernah egois, tetapi sekarang aku menghormati pilihannya."

Kedua ujung bibir Moira tertarik. "Terima kasih."

Anindira mengulum bibir dan mengangkat bahu. "Semoga kalian selalu bahagia."

Kaki Anindira yang hendak melangkah tiba-tiba urung dilakukan karena Moira menahan lengannya.

"Tunggu!" pekik Moira. "Boleh Moira tanya sesuatu?"

Alis Anindira mengangkat sebagai jawaban mengizinkan.

"So-soal... um...," ucap Moira terbata dengan tangan yang menggaruk pelipisnya. "Soal ucapan dokter kemarin... maksudnya apa?"

Kini dahi Anindira mengernyit sebab tidak tahu ucapan yang Moira maksud.

"Ucapan kemarin, kata dokter, 'semoga Ibram tak menyesali kehadiranmu lagi,' yang itu." Moira mengingatkan yang langsung direspons dengan senyuman oleh Anindira.

"Tanya pada Ibram saja," ujarnya yang timbulkan ribuan tanda tanya pada benak Moira. Sejurus kemudian wanita itu pergi meninggalkan Moira yang saat ini rasa penasarannya dua kali lipat dari sebelumnya.

***

Moira tengah mengelap jari-jari tangan Ibram dengan kain basah. Jari-jari tangan yang dulu selalu digenggamnya, jari-jari tangan yang selalu menyentil dahinya, jari-jari tangan yang pernah berjabatan dengan Ayah untuk memindahkan tanggung jawab Ayah padanya. Kini, jari-jari tangan itu tengah tak berdaya.

Moira teringat sesuatu, segera ia beranjak dari duduknya untuk meraih tas yang berada di atas sofa. Ia mengeluarkan sesuatu dari dalam sana. Benda hitam berbahan beludru berbentuk bulat yang kini berada digenggamannya perlahan ia buka dan memperlihatkan sebuah cincin palladium.

Moira kembali untuk duduk di dekat ranjang Ibram. Cincin palladium tadi ia sematkan di jari manis Ibram dengan perlahan. Sebuah senyum terulas diwajah letihnya. Ibu jari Moira mengelus cincin yang saat ini sudah berada di tempat yang semestinya itu. Detik berikutnya, bibir Moira mendarat di sana, mencium tangan yang sudah tak asing bagi bibirnya.

Aktivitas Moira harus terhenti kala seseorang membuka pintu ruangan dengan kasar hingga timbulkan bunyi nyaring akibat pintu kaca itu berbenturan dengan tembok. Sontak Moira terkesiap berdiri dari duduknya dan memasang wajah takut kala orang itu menghampirinya dengan langkah kaki seribu. Tatapan matanya yang berapi-api yang membuat Moira takut.

IKRARTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang