BAB 22: Resan

16.3K 686 40
                                    

"Hari minggu ada acara kagak?" Arif membuka percakapan setelah lima menit hanya terdengar dentingan sendok. Saat ini tengah jam makan siang para karyawan di tempat bekerja.

"Kenapa emang?" sahut Rumi sambil menguyah makanannya yang memenuhi mulut.

"Ke Bandung yuk, refreshing kita," ajak Arif.

"Gue sih ayo aja." Mata Romi kini melirik Ibram yang sedari tadi hanya focus pada makanannya. "Lu gimana, Bram?"

"Ayo," jawab Ibram singkat tanpa mengalihkan matanya sedikit pun dari makanannya.

"Bana?" panggil Arif, pria berambut kribo itu sedari tadi juga hanya focus pada makannya. Sejujurnya bukan pria itu tidak menyimak, hanya saja ia memang tidak tertarik untuk nimbrung.

"Apa?" sahut Bana dengan malas.

"Lu gabung gak?"

"Kalau kalian ngajak bini mending gak usah ngajak gua," jawab Bana yang sudah menebak sedari awal.

Arif tertawa geli mendengar jawaban Bana. Pria yang dulu kawan jomlonya itu terdengar seperti merajuk. "Makanya kawin, jangan mikirin mulu orang yang jelas-jelas bukan milik lu."

"Lagian udah waktunya lu move on, Ban. Jangan terlalu nyaman terjebak di masa lalu." Romi menasihati diiringi dengan sebelah sudut bibirnya yang tertarik.

Bana lebih memilih tidak berkomentar, ia terus melanjutkan aktivitasnya melahap nasi.

"Dia bukan terjebak masa lalu, tapi terjebak penyesalan," ungkap Arif.

Bana melirik Arif tajam, tetapi tak bisa berkomentar sebab yang pria itu ucapkan adalah kebenaran. Dirinya bukan nyaman dalam kesendirian, bukan pula nyaman di masa lalunya, tetapi lebih kepada sedang dihantui penyesalan hingga buatnya takut untuk memulai suatu hubungan.

"Hidup adalah sejarah yang berulang. Apa yang pernah orang lain rasakan karena perbuatan kita, maka akan kita rasakan juga suatu saat nanti sebagai balasan." Romi berkata bijaksana. "Mungkin itu sedang berlaku sekarang di hidup lu, Ban."

Ibram sontak terhenti dari aktivitasnya. Sesuap nasi yang satu centi lagi masuk ke dalam mulutnya urung dilakukan. Perkataan Rumi barusan seolah mengingatkannya pada sesuatu. Seolah ucapannya itu tengah menyindirnya. Kemudian tanpa diminta sekonyong-konyong suara Anindira terngiang-ngiang ditelinganya.

Aku tidak tahu karma itu ada atau tidak. Tapi yang kutahu Tuhan itu Maha Adil.

Ibram mendengus, sejenak matanya terpejam. Dengan kasar Ibram melepaskan sendok yang berada di genggamannya sehingga menimbulkan suara yang nyaring akibat menimpa wadah stainless. Seketika mata orang-orang yang berada di dekatnya menoleh.

"Kenapa, Bram?" tanya Arif penasaran mewakili mata yang kini tengah menyorot Ibram juga. Mereka menanti mulut Ibram terbuka.

"Uh, itu...." Ibram berdehem. "Tadi ada batu ke makan," kilahnya.

Mata yang penasaran tadi kini tak menyorotnya lagi, malah terkesan tidak peduli setelah mengetahui alasannya.

"Kirain gua lu kesel karena telinga lu gak sanggup denger si Romi yang tiba-tiba kerasukan jadi bijaksana begitu," gerutu Arif yang diikuti dengan tawa Bana. Sedang Rumi hanya berdecak sebal.

Ibram hanya menyeringai terpaksa. Hatinya lega sebab kebohongannya tak disadari oleh kawan-kawannya.

"Ban, lu ikut aja ama kita. Masalah gandengan, nanti gua yang atur," ucap Arif yang berusaha mengajak Bana untuk tetap ikut. Sebagai kawan sudah sepatutnya merasakan senang-senang bersama, menghibur kawan yang sedih adalah tugas utama. Arif tak mau Bana terus-terus berlarut pada penyesalannya karena telah menyia-nyiakan seorang wanita yang dulu berjuang dengan gigih, hingga akhirnya pergi.

IKRARTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang