BAB 33: Silam

16.5K 766 45
                                    

*Silam = gelap
***
Selaman membaca 😊

***

Andai saja tak ada angin malam yang kesejukannya tak selimuti tubuh, andai tiada kalimat penenang seperti istighfar sebagai perisai amarah, manakala Nadin menyuruh Ibram untuk menikahi Anindira, mungkin Nadin sudah habis dilahap kemurkaan Ibram.

Namun, Nadin tak benar-benar lolos dari kemurkaan Ibram. Sebab, dengan gerakan yang tak dapat Nadin halau, Ibram menjitak adik perempuannya itu dengan cukup keras hingga membuat Nadin mengaduh kesakitan.

"AW!!" Jitakan yang tepat diubun-ubun kepalanya itu terasa panas dan menjalar keseluruh bagian atas tempurungnya. Seketika Nadin merayang dibuatnya.

"Kalau ngomong itu dipikir dulu!" semprot Ibram yang tak pedulikan rasa sakit yang diderita Nadin karena perbuatannya. "Secara tidak langsung kamu sedang mengajarkanku jadi pria brengsek!" imbuhnya.

"Gak usah ngejitak juga kali!" seru Nadin kesal. "Lagian itu cuman saran doang!"

"Saran yang bodoh," ketus Ibram. "Kalau kamu berada di posisi Moira, memangnya kamu mau diperlakukan begitu?"

Nadin bergeming. Dalam hati ia akui kalau tak mau jika berada di posisi Moira yang harus berbagi suami. Na'udzubillahi min dzalik!

Ibram menatap Nadin lurus, adiknya itu tak kunjung bersuara. Maka, Ibram membuka mulutnya dan berkata, "Kalau boleh jujur, aku tidak menyukai Andi."

"Kenapa?" Nadin menyahut dengan cepat. Apa yang membuat Ibram tidak menyukainya? Rasa-rasanya Andi calon suami yang pas. Ia tampan, mapan, dan beriman. Itulah pandangan Nadin.

Ibram membasahi bibirnya, hatinya tengah menimang apakah tidak mengapa ia utarakan? Kalau tidak rasa-rasanya mengganjal dalam hati. Tetapi, jika dikatakan apakah tidak akan menyinggung Nadin?

"Kenapa Mas?!" tuntut Nadin yang kini menarik-narik lengan Ibram.

"Dia membuatmu jauh sama Allah."

"Maksudnya?" Mata Nadin sempurna melotot.

"Dalam keadaan seperti ini kamu menyalahkan Moira. Lalu, agar pernikahanmu terlaksana, kamu menyuruhku menikahi Anindira. Di mana letak pengharapanmu pada-Nya? Kepercayaanmu atas ketentuan-Nya?"

Mata Nadin mengerjap-ngerjap, mulutnya sedikit menganga, sedang hatinya terasa tersengat oleh perkataan Ibram. Perkataan itu terasa menyakitkan. Bukan karena tidak benar, tetapi sebaliknya! Terlalu benar!

Namun, rasanya ego Nadin terlalu besar untuk benar-benar mengakui hal tersebut. Dengan enteng ia menjawab, "Tapi tetep aja andai Mas Ibram gak nikah sama Moira, mungkin gak bakal kayak gini."

***

Lelap yang mendekapnya perlahan mengendur. Sayup-sayup terdengar seseorang tengah merapalkan sesuatu. Hingga saat dekapan lelapnya benar-benar terlepas, barulah ia tahu apa rapalan tersebut.

Mulanya, memang mengagetkan mendapati seseorang mengusap-usap perutnya setiap malam. Tidak. Bukan malam, sepertinya dini hari, ditebak dari suhu rendah yang menusuk tubuh. Namun, seminggu berjalan, rasanya ritual ini memiliki candu. Seperti alarm, kesadaran Moira akan tertarik berbarengan dengan berjalannya ritual ini.

Rapalan itu dibaca berulang, entah berapa kali. Tetapi, yang pasti lebih dari tiga kali. Rapalannya tidak cepat maupun lambat, suaranya mendayu tenangkan kalbu. Rapalan tersebut berakhir dengan tanda ditiupkannya embusan napas yang terasa dingin menggelitik perut.

Kini embusan itu berpindah ke atas kening. Tak lama, sesuatu yang lembap mendarat di sana sedikit lama. Al-fatihah itu sudah sempurna berakhir.

Setiap paginya, Moira tidak pernah bertanya apa yang Ibram lakukan itu. Sebab, ia yakini bahwa hal tersebut salah satu jalan Ibram untuk meminta perlindungan-Nya.

IKRARTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang