Selamat membaca😊
🌹🌹🌹"Minggu depan aku mau nanjak."
Moira menghentikan aktivitas menyapunya kala suara Ibram terdengar. Pria itu tengah berjalan menuruni tangga lalu duduk di sofa bed yang berada di ruang televisi.
"Nanjak?" Alis Moira terangkat tak mengerti. "Kenapa harus bilang sama Moira?"
"Ck. Seharusnya memang tidak usah bilang saja," gerutu Ibram.
Moira mengedikan bahunya tak acuh. Dilanjutkan aktivitasnya yang terhenti tadi. Saat hendak menyapu dekat televisi, tepat saat melewati suaminya, lengannya ditarik hingga tubuh kecilnya melayang ke pangkuan Ibram. Jantung Moira berdetak cepat karena terkaget.
"Kamu betulan tidak peduli aku tinggal?" Kekesalan Moira didahului Ibram, urung sudah niatnya yang ingin menyemprot sang suami.
"Eh, ditinggal ke mana?!" Panik kini menyergapnya.
Mata Ibram tampak terpejam sekejap. Ternyata Moira tidak mengerti maksud dari 'nanjak', pantas saja gadis itu tak acuh. Kekesalannya hilang digantikan dengan gemas, begitu polosnya gadis ini.
"Nanjak itu mendaki gunung, sayang." Mata Ibram dan Moira sama-sama membola. Ibram tak sadar apa yang dia ucapkan barusan, kata-kata itu lolos begitu saja dari mulutnya. Sedang Moira terlihat merona, sebab inilah pertama kalinya lawan jenis selain Ayah memanggilnya demikian.
Saat ini keduanya seperti pasangan cinta monyet. Bagaimana bisa Ibram yang sudah ulung mengenai hubungan lawan jenis tiba-tiba sekarang tengah kikuk merasa canggung. Sementara Moira sedang berhitung dalam hati, takut-takut ia akan berbuat yang tidak-tidak sebab nuraninya sedang meronta kegirangan bukan main. Perasaan yang baru pertama ia rasakan, rasa yang tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata.
"Turun, kamu berat," gumam Ibram.
Ibram jelas berusaha mengalihkan pembicaraan. Kedua tangannya siap mengangkat pinggang Moira agar gadis itu berpindah tempat. Namun, usahanya suak dilakukan sebab diwaktu yang sama Moira mengalungkan tangannya di leher Ibram. Dalam hati Ibram merutuk dirinya sendiri, mengapa tubuhnya merespons dengan tidak baik. Mengapa Moira dengan mudahnya membunuh seluruh syaraf-syaraf tubuhnya, sedang jantungnya berfungsi dengan berlebihan. Sampai-sampai ia takut kalau gadis itu dapat mendengar detak jantungnya.
Tanpa Ibram tahu, Moira pun merasakan hal yang sama tetapi sebisa mungkin gadis itu menunjukan sikap biasa saja. Keberaniannya harus lebih besar dari perasaannya. Kalau menuruti perasaan, Moira mungkin sudah berlari ke kamar, mengunci pintu, lalu berteriak sekencang mungkin. Berbeda dengan Ibram yang akan memilih berlari ke hutan lalu meminta harimau memakannya, sebab kesal karena perasaannya selemah ini.
"Moira ikut." Pendengaran Ibram menangkap bahwa itu bukan sebuah permintaan melainkan tuntutan.
Ibram menggeleng cepat. "Tubuhmu ringkih, gak bakal kuat."
Moira mencibir tak suka. "Ya udah, berarti Mas Ibram juga gak boleh ikut!"
Ibram berdesah, dirinya baru tahu Moira suka merajuk seperti ini. Ibram mengerutkan dahinya, tatapannya menusuk Moira. Pria itu sedang menimang, jika tidak diajak dirinya pun tak tega meninggalkannya sendirian di rumah. Jika diajak dirinya pun tak tega juga sebab melihat tubuh Moira yang ringkih.
"Please...," mohonnya.
"Baiklah," putus Ibram. "Turun, aku mau kabari kawanku dulu."
Moira bersorak dalam hati. Senyumnya semringah seolah baru saja ia dapatkan sebuah hadiah umrah. Tangan yang melingkari leher Ibram terurai, lalu gadis itu berdiri dari pangkuan Ibram dan kembali melanjutkan aktivitasnya sambil bersenandung.
KAMU SEDANG MEMBACA
IKRAR
Spiritual#5 in Spiritual (30/08/19) #1 in Islamic (08/03/20) Ikrar berarti janji yang bersungguh-sungguh. Moira telah berikar kepada sang ayah yang mengidap kanker paru-paru untuk memenuhi permintaan terakhirnya, yaitu menikah dengan anak sahabatnya. Pria it...