jingga

481 99 11
                                    

"aduh, habis lah aku."

suara bergetar menahan dingin, air mata mengintip keluar, sedikit lagi jatuh mengalir di pipi.

senja hari itu terasa dingin sekali baginya.

"jingga?"

suara berat buat jantungnya melompat. Setetes air mata lolos.

"benar jingga ya?"

masih dengan seragam kafe dan sebatang rokok ditangan, pelayan yang minggu lalu mentraktirnya kue datang menghampiri.

"eh? ya?"

jingga bergetar, mengapa pemuda itu ingat namanya?

rokok sebatang dimatikan, jalan lebih dekat. kedua netra perhatikan keadaan jingga dari ujung kepala hingga kaki.

jingga, tubuh yang basah, dan air mata diwajah.

"ditindas?"

"bukan kok!"

jingga jawab lebih cepat dari apapun hingga buat pemuda itu, langit, terkejut dan terdiam. 

"anu, saya belum tahu namamu."

"langit."

lebih singkat dari yang jingga kira. pemuda didepannya jadi terlihat makin galak. 

"ikut saya."

langit bawa tangan jingga dalam genggamannya lalu jalan perlahan lewati beberapa pintu. masuk jauh kedalam kafe, lewat pintu belakang, hingga sampai di tempat penuh loker. lepaskan gandengan mereka, langit buka salah satu loker. ambil sehelai handuk dan pakaian lalu serahkan ketangan jingga.

"toilet sebelah sana. ganti pakaianmu." langit tunjuk ruangan bertanda toilet dengan dagunya lalu tinggalkan jingga sendiri.

"kalau butuh sesuatu saya tunggu didepan sini." jingga mengangguk paham.

'kenapa? kenapa baik sekali?'

cafe

jingga dalam balutan kaos tipis yang basah itu buat sesuatu dalam diri langit meluap. ia jadi ingin lihat jingga yang basah tak berdaya dalam kukungannya lalu mereka lakukan hal-hal menyenangkan. tapi langit segera tepis fantasinya sebelum makin meliar.  

"rupanya kamu benar sudah tidak normal ya?" 

langit sadar, sejak pertemuan pertama mereka minggu lalu langit sudah berikan hatinya untuk jingga. sudah berusaha lupa, berusaha sangkal perasaan, tapi gagal. 

"anu, langit? aku sudah selesai."

suara manis jingga lagi-lagi buat lamunan langit buyar. persis seperti pertemuan pertama mereka.

"mau minum teh? sepertinya kamu kedinginan."

"enggak usah aku tidak punya-"

"saya traktir. mumpung sedang jam istirahat, daripada merokok diluar lebih baik temani kamu. boleh, kan?"

sama-sama terkejut kenapa langit bisa keluarkan kalimat sepanjang itu. jingga mengangguk pelan.

jika bersama jingga langit tak akan lelah bicara sepanjang apapun. karena untuk langit, jingga istimewa. walau untuk jingga, langit tak lebih dari sekedar orang asing.

tak apa, langit tau batasannya.

café - binsungTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang