Primary #5

470 38 1
                                    

Diana mengunci ruangannya dan berjalan gontai sedikit tertatih menuju nurse station. Pandangannya kosong. Masih terngiang kalimat Emi: waktu kita sedikit.

Ya, sedikit. Semakin sedikit dan sempit karena Diana terlambat. Dia lalai tidak tahu apa itu primary dan alat apa saja yang harus disiapkan. Dia juga tidak hati-hati sampai terjatuh dan terkilir, itu menghambat pergerakannya. Bahkan Dokter Kahfi pergi mengambil Integrilin sendiri, karena ketidakmampuan Diana menjalankan tugasnya.

“Psikopat itu benar. Aku tidak layak jadi tenaga kesehatan. Sudah berkali-kali aku mendapat masalah di pekerjaanku. Hanya karena masalah pribadi, aku sempat salah memberikan obat dan mengancam nyawa pasien. Aku hanya beruntung karena pasiennya jeli, tidak pernah minum obat itu, jadi dia selamat dan aku terdampar di sini.” Diana membatin memikirkan karirnya. “Tapi siapa sangka, tanpa pengaruh emosional pun aku tetap saja tidak bisa diandalkan. Membuat satu nyawa melayang sia-sia.”

Diana mendengar suara air mengalir dengan deras. Karena tempatnya dekat dengan nurse station bahkan harus melewati itu untuk menuju nurse station. Ternyata Dokter Kahfi sedang mencuci tangan pasca operasi. Dia terlihat murung, tertekan, dan sedih. Diana berhenti dan diam di balik tembok. Kemudian terdengar suara tangisan dari ruang tunggu keluarga pasien. Itu pasti keluarga pasien yang menangis atas meninggalnya anggota keluarga mereka. Diana merunduk, lalu Dokter Kahfi lewat menuju ruang ganti tanpa menoleh pada Diana. Diana melihat sejenak lalu kembali pergi ke ruang nurse station.

“Mbak, titip kunci,” kata Diana pada Emi yang sedang merapikan berkas di meja.

“Oh, iya Mbak.” Emi mengambil dan menyimpannya di laci meja.

“Dokter Kahfi … baik-baik saja kan, Mbak?”

“Ng?” Emi melirik ke belakang, Dokter Kahfi baru muncul dan sudah ganti pakaian.

“Dia terlihat kurang baik,” lanjut Diana.

“Baik, kok. Jadi tenaga medis jangan baper. Harus kuat.” Emi tersenyum.

“Em, suruh dia pakai ini! Saya enggak mau kerja dengan orang yang sakit atau lelet!” Dokter Kahfi meletakkan gulungan verban elastis berwarna coklat di meja nurse station lalu pergi.

Diana terkejut nyaris melompat. Dia menepuk-nepuk dadanya.

“Oke, Dok.”

Diana masih mengatur napasnya yang mendadak berantakan karena terkejut.

“Tuh, kan … sudah normal lagi.” Emi tersenyum. “Mbak, kakimu masih sakit, kan? Sini aku bantu pakai ini biar bisa jalan lagi, biar enggak terlalu sakit.”

“O, oh ... iya.” Diana berpindah duduk mendekati Emi, sementara Emi membuka kemasan verban itu dan mulai membalut pergelangan kaki kiri Diana.

“Tenang saja Mbak, Dokter Kahfi memang begitu. Galak tapi sebenarnya dia baik. Nih, buktinya!”

Diana mencoba tersenyum merasa semuanya mulai membaik meski terlalu cepat. “Terbalik mungkin, Mbak. Kelihatannya baik tapi galak.”

Emi tertawa.

“… seperti psikopat,” batin Diana. “Huh, menyebalkan sekali tuh dokter. Aku baru saja mau simpatik sama dia. Ternyata sama saja, psikopat. Beraninya membuat aku malu di depan orang lain. Walau pun aku sehat, aku enggak mau kerja sama dokter aneh itu.”

Diana teringat sesuatu dan langsung mengeluarkan ponselnya. Selagi kaki Diana dibalut, ia membuka IG dan mencari akun hater Dokter Kahfi: @dokterkahfihater. Dengan mantap Diana menekan tombol follow, lalu senyum-senyum dengan bangga.

“Now i'm your hater. Be careful of me.”

Bersambung ...

Hater, I Love You! (#watty2019)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang