Hard Day #1

1.2K 52 10
                                    

Di sebuah toilet berlantai keramik putih dengan tiga wastafel berjajar dan dinding full cermin di depannya. Diana, perempuan berusia 29 tahun sedang berulang kali membasuh wajahnya dengan air yang mengalir deras dari kran. Sebagian ujung lengan ¾ seragamnya basah, juga baju bagian dada dan perutnya. Rambutnya berantakan bahkan kedua matanya menghitam akibat maskara dan eyeliner yang luntur.

"Nathan bodoh! Nathan kurang ajar!" makinya dengan napas menderu. "Dasar pria parasit. Bisa-bisanya dia selingkuh."

Hening, hanya suara air mengalir dengan deras.

"Hiks," Diana merunduk dan mulai menangis. "Kenapa sih dia jahat sekali ...?"

Tangis Diana semakin dalam dan sedih. Tapi tidak seorang pun di sana untuk menenangkannya.

"Gila ya, tuh orang! Enggak mikir apa, lima tahun selama ini tuh apa? Pacaran begitu saja? Dia kira aku enggak punya perasaan apa? Sia-sia pengorbananku selama ini. Enggak punya malu tuh orang, dari hanya pramuniaga biasa, aku biayai kuliah sampai jadi perawat, eh, wisuda yang diundang selingkuhannya. Sekarang? Berani sekali pamer kemesraan, jenguk selingkuhannya yang sakit dirawat di rumah sakit ini. Kenapa enggak mati saja sekalian?!"

Diana menangis lagi. "Apa salahku sih? Kenapa seperti ini? Sudah kena masalah di kerjaan, salah obat, kena SP , dimutasi, tugas sendirian, sekarang? Jomblo , perawan tua, korban permainan brondong . Apa yang dibanggakan dari lima tahun pacaran? Bikin malu!"

Diana menghapus air matanya berusaha tersenyum. "Lihatlah, aku Diana. Terkenal judes, jarang senyum. Sekarang nasibku sungguh malang. Oh ya ampun, kenapa aku enggak mati saja sih??!!"

Tiba-tiba terdengar suara kunci slot pintu bergeser. Diana terkejut. Entah nada suaranya yang tinggi jadi menggema atau memang ia mendengar suara selain air dan dirinya. Mata Diana mengawasi lewat cermin hingga membulat sempurna begitu melihat pintu bilik toilet paling ujung perlahan terbuka. Diana menahan napasnya karena malu, takut dan bingung.

Seorang laki-laki berkemeja putih, memakai setelan safari hitam, dengan sepatu kulit model pantofel yang mengkilap, dan gaya rambut yang terlalu rapi keluar dari bilik itu. Auranya mengerikan, membuat Diana bergidik seram. Seolah-olah orang itu adalah pembunuh berdarah dingin. Ekspresinya datar dengan sorot mata kosong tapi mengerikan.

Diana tidak berkutik melihat di cermin tanpa berbalik. Bahkan ketika orang itu mendekat ke wastafel dan mencuci tangan. Gerakan tangannya sangat lihai mempraktekkan enam langkah cuci tangan yang baik dan benar. Diana justru membayangkan orang itu sedang mencuci tangan yang berlumuran darah. Pelan tapi berambisi.

Diana kaku di tempat. Berkeringat dingin. Sampai selesai mencuci tangan, orang itu mengambil tisu melap wajah lalu tangannya, persis seperti pembunuh bayaran yang puas atas korbannya. Kemudian pergi sambil membuang tisu ke tempat sampah. Suara sepatunya khas seperti kedatangan seorang penjahat psikopat yang mengerikan.

Tiba-tiba suara sepatunya berhenti. Tepat di belakang sisi kiri Diana.

Detak jantung Diana seperti ikut berhenti. Ia melihat dirinya di cermin, hanya setinggi ketiak orang asing itu. Terlalu mudah untuk dicekik. Peluh jatuh di pelipisnya. Rambutnya yang disanggul dengan beberapa helai terurai berantakan tidak bisa menutupi betapa banyak keringat bercucuran dari atas ubun-ubunnya.

"Ehm! Lain kali, sebelum masuk toilet, tolong perhatikan tandanya." Lalu orang beraura jahat itu pun pergi.

Diana melepas napas lega. Sedetik kemudian Diana melotot mengingat kalimat orang asing tadi. Kemudian masuk seorang laki-laki petugas kebersihan berseragam serba coklat membawa troli peralatan kebersihan. Diana berbalik dan salah tingkah. Ia merapikan sanggulnya juga membersihkan wajah dengan tisu lalu pergi.

Di depan pintu toilet yang bersebelahan dengan toilet wanita, ada seorang petugas kebersihan wanita lainnya. Ia heran melihat Diana gugup merapikan pakaiannya. Petugas laki-laki sebelumnya keluar lalu berbisik pada temannya. Temannya syok sambil melihat Diana yang semakin menjauh.

"Di toilet laki-laki, berduaan? Keluarnya berantakan, terus basah-basahan??" kata petugas kebersihan wanita itu sambil bergidik lalu mencibir jijik, menghina, tidak menyangka.
Diana mengumpat dirinya. Sial sekali salah masuk toilet. Tapi seharusnya tidak separah itu sebab biasanya toilet di lantai 4 memang selalu sepi karena belum ada pelayanan di lantai itu.

Diana menepuk jidatnya. "Ya ampun ... ini pembukaan poli saraf dan jantung. Juga peresmian fasilitas layanan baru, cathlab . Pantas jadi ramai." Diana melirik jam di tangannya, "Owh, telat 30 menit!!"

Bersambung ...

Hater, I Love You! (#watty2019)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang