Is He A Phsyco? #3

499 40 0
                                    

Diana tertawa. “Iya, tapi apa saking menjijikannya aku, bahkan sekadar pura-pura cinta saja, tuh laki sarap enggak pernah nyentuh aku. Bukan berarti aku tuh pengen disentuh, bukan. Tapi itu semakin menambah keyakinan aku, kalau aku tuh … something happen with me, apa?”

“Ng ... kalau itu sih no comment. Tapi mungkin karena saking sayangnya Allah sama Kakak. Jadi orang brengsek itu enggak sampai ngapa-ngapain Kakak, bahkan megang tangan Kakak saja enggak. Syukuri saja kesucian yang masih terjaga itu. Tinggal tobat, terus ikut taaruf biar langsung nikah. Kan seru!”

“Nah!” Diana menggebrak meja membuat Novi terkejut.

“Apaan sih Kak? Kaget tahu!”

Diana nyengir. “Ide bagus. Mungkin iya, aku sengaja dipilih sama Allah untuk memahami arti hidup ini. Dan arti cinta sejati. Kalau cinta itu bukan pacaran, tapi nikah.”

“Nah, benar sih. Tapi kalau dipilih sama Allah … mulai deh. Gilanya nih orang gini nih, gampang down mendadak up sendiri. Over malah.”

Diana tertawa. “Lah kan yang bilang kamu, kalau Allah saking sayangnya sama aku jadi nasib cinta aku begini.”

“Yadah ....”

“Makasih, ya Vi. Kamu memang teman yang soleha.”

“Hmh!” Novi meneguk air lagi.

“Oke, fix! Aku mau ikut taaruf. Punya suami jauh lebih kece dari pada punya pacar. Yang halal jauh lebih keren dari yang belum sah. Dan ... biasanya yang taaruf itu ikhwan-ikhwan soleh. Siapa sih yang enggak mau punya suami soleh? Pada akhirnya kita semua akan mati, dan di akhirat kelak bakal ditanya tuh soal agama kita. Nah, enak kalau suaminya soleh, bisa bimbing kita ke surga. Ah, masya Allah … indah sekali sepertinya. Salat berjamaah, Tahajud bersama, duha bersama, ih ... ya ampun ....”

“Kak, apaan sih? Jijik tahu!”

“Apanya?”

“Senyum merem meleknya itu! Enggak cocok.”

“Apaan sih, Vi! Malas, deh! Salah satu faktor aku disebut judes itu ya kamu, kalau aku senyum-senyum malah dibilang enggak pantas. Ya jadilah aku si judes tanpa senyum.”

“Iya, tapi jangan lebay  gitu, dong. Senyum yang biasa dan tulus itu, senyum alami yang cantik. Itu baru Kakak Diana yang manis.”

“Eh, bener kan? Dokter Kahfi ... ya Allah ....” Beberapa dokter perempuan berkumpul di belakang Diana. Bahkan perawat perempuan lainnya ikut berkumpul. “Dok, foto ya?”

Novi dan Diana melotot berpandangan. Novi memiringkan badan, melirik. “Kahfi ... Dokter Kahfi ...,” bisik Novi.

“Nasib apa aku, ketemu psikopat itu.” Diana pergi tanpa menghabiskan makan siangnya.

“Dih, Kak! Kakak tunggu!” Novi panik dan menyusul.

Bersambung ...

Hater, I Love You! (#watty2019)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang