Terhitung 3 hari sejak aku mengirimkan pesan penjelasan pertemuanku dengan Damar pada Johnny. Terhitung 3 hari juga Johnny tidak membalas pesan itu.
Dia tidak kunjung menghubungiku. Aku pun tidak menghubunginya. Tidak ada tanda-tanda kehidupannya di media sosial. Aku benar-benar tidak tahu keadaannya selama 3 hari karena ego yang tidak mau mengalah untuk menghubunginya lebih dulu.
"Sindi?" Kubikel meja kerjaku diketuk dua kali oleh Mbak Sarah, seniorku. Aku yang entah sudah berapa lama menatap pada layar ponsel sampai melamun langsung terperanjat.
"Package yang kemarin harus di revisi. Client yang minta. Udah gue kirim ke e-mail lo sama apa aja yang mau diubahnya. Ditunggu sampe besok ya." Jelas Mbak Sarah. Aku mengangguk pelan kemudian Mbak Sarah berlalu kembali ke ruangannya.
Tangan mulai menyentuh tikus komputer dan mengarahkan jarumnya untuk membuka surel yang dikirim Mbak Sarah. Selang beberapa menit, ponselku bergetar. Aku langsung melepas mouse dan mengambil ponsel sambil membuka kunci berharap kalau pesan yang masuk berasal dari orang yang paling aku tunggu.
Tapi harapan pagi ini berujung kecewa.
Tentu saja aku berharap pesan yang masuk berasal dari Johnny. Tapi ternyata pesan yang masuk dikirim oleh Mbak Hanna, wedding organizer-ku. Isi pesannya mengingatkan bahwa hari ini, harusnya, aku ada janji untuk melakukan fitting untuk acara nanti.
Harusnya.
Ibu jari menekan tombol dial di layar, memanggil si pengirim pesan kemudian menunggu panggilan tersambung sambil menempelkan ponsel ke telinga.
"Pagi, Sin." Suara Mbak Hanna menyapaku ramah dari seberang sana.
"Pagi mbak Hanna."
"Kenapa kenapa?" Tanpa basa-basi, mbak Hanna langsung menanyakan tujuanku menelponnya.
"Hehehe mbak, fitting nya bisa diundur lusa atau tiga hari lagi nggak?" Tanyaku hati-hati sambil diam-diam menyiapkan jawaban kalau mbak Hanna selanjutnya bertanya alasanku ingin mengundur jadwal ini.
"Oh boleh. Barusan Johnny juga bilang minta diundur." Mendengar jawaban mbak Hanna dari seberang sana, jari yang sedang ku ketuk di atas meja langsung terhenti. Ternyata dia punya waktu untuk menunda jadwal fitting, tapi tidak dengan membalas pesan yang sangat ditunggu.
"Oh oke deh. Makasih ya mbak."
"Sindi?"
"Ya mbak?"
"Semoga cepet selesai ya. Apapun itu."
"Ya?" Terdengar suara kekehan kecil mbak Hanna ketika aku terdengar bingung dengan pernyataannya yang tiba-tiba.
"Aku jadi WO udah lumayan lama sin. Bukan sombong tapi aku udah lumayan banyak ngurusin pasangan-pasangan gini. Aku sendiri juga udah menikah. Emang selalu ada aja ya cobaan kalau kitanya lagi punya niat bener-bener." Aku terdiam mendengarkan mbak Hanna berbicara.
"Apapun itu, semoga kamu dan Johnny cepet ketemu jalan keluarnya. Jalan keluar yang paling baik buat kalian berdua." Masih mematung dan malah hampir menangis ketika mendengar mbak Hanna mengucapkan harapannya. Bahkan sampai harus memijat pelipis sebagai upaya untuk menahan tangis tidak keluar di pagi ini.
"Mbak, makasih banyak ya." Setelah mengucapkan terima kasih, panggilan berakhir. Aku kembali menaruh ponsel sambil menghembuskan nafas dengan berat.
Saat kembali fokus pada pekerjaan, ponsel kembali bergetar. Mata melirik ke arah bar notifikasi membuat jari-jari di atas papan tombol komputer terhenti dan memutuskan untuk membuka ponsel agar bisa membaca pesan lebih jelas.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bitterlove; Cerita Johnny--AU
FanfictionNamanya Johnny Aldebaran. Mungkin ibunya tahu bahwa kelak anak laki-lakinya ini hobi membuat jantung anak orang berdebar nggak karuan. ©2019, coffecoustic