"Kak, bangun buruan kebo banget sih lo!" Suara Jefry yang membangunkanku sejak tadi benar-benar mengganggu minggu pagiku kali ini. Mulai dari lambaian tangan lemah sampai kaki yang menendang selimut dilakukan sebagai upaya membuatnya berhenti mengacaukan rencanaku untuk bangun siang hari.
"Ada bang Johnny." Suara Jefry kembali terdengar di telingaku.
"Hmm." Jawabku setengah sadar sambil semakin memeluk guling memunggungi Jefry. Setengah lagi nyawaku sedang menggurutu kenapa dia harus seheboh ini cuma karena Johnny datang ke rumah? Padahal biasanya juga Johnny akan menungguku bangun dengan sendirinya.
"Sama papa mamanya." Kali ini Jefry berhasil membuatku bangun terduduk dengan sekali gerakan dan langsung memandangnya dengan sedikit pening.
"Serius?! Lo jangan ngerjain gue Jef!" Omelku sambil memijat kening mengurangi sedikit kliyengan akibat dari darah rendah karena langsung merubah posisi tubuh sekali hentakan.
"Ngapain ngerjain? Liat aja dah ke bawah." Katanya membuatku buru-buru turun dari kasur, keluar kamar dan berdiri di depan pagar pembatas tangga. Meskipun tidak kelihatan, tapi aku bisa mendengar beberapa suara tengah mengobrol berasal dari ruang tamu. Suara Johnny salah satunya.
"Mampus gue!" Aku kembali ke kamar sambil mengusap wajah yang kusut. Jefry mengerutkan dahinya melihatku yang panik.
"Bukan mampus-mampus. Buruan lo cuci muka bersihin tuh belek." Jefry menunjuk tepat di depan wajah.
"Mandi keburu nggak ya? Dari tadi? Kok lo nggak bangunin gue sih Jef?" Aku merengek sambil sibuk menggulung rambut.
"Menurut lo yang bangunin lo dari tadi tuh siapa astaga! Lo cuma ha heu ha heu doang!" Jefry bangkit dari ujung tempat tidurku.
"Jef, tapi itu mau ngapain pada kesini?" Mata melirik ke arah jam di dinding yang jarumnya menunjukan pukul 8 kurang. Dahi mengerut bingung, bukankah ini terlalu pagi untuk bertamu?
Jefry membalikkan tubuhnya yang hampir keluar melewati pintu.
"Lah? Mana gue tahu? Mandinya buruan! Ditungguin di bawah." Jefry langsung melongos sambil menutup pintu kamar dan meninggalkan pusing di kepalaku.
Selama kurang dari 15 menit mandi dan berdandan secepat kilat. Memastikan wajah tidak terlalu kuyu terlihat baru bangun tidur. Memoles pewarna bibir lalu menyemprot minyak wangi dengan kepala yang terus sibuk memikirkan banyak kemungkinan kedatangan Johnny dan orang tuanya sepagi ini ke rumah.
Setelah selesai dan yakin bahwa semuanya sudah rapi tidak ada yang terlewat, kaki buru-buru melangkah keluar kamar dan langsung berhenti di dapur ketika mendengar suara mamaku dan Tante Widya, mamanya Johnny, yang tengah mengobrol berdua.
"Pagi, Tante." Jantungku berpacu cepat ketika menyapa Tante Widya yang baru lagi aku temui hari ini. Aku bahkan sudah lupa kapan terakhir kami bertemu setelah pertemuan pertama di wisuda Johnny waktu itu.
"Hey, morning sweety, aduh ganggu hari minggunya ya?" Tanyanya sambil mengelus lenganku ketika aku selesai menyalaminya.
"Nggak kok Tante." Aku buru-buru mengelengkan kepala.
"Mumpung lagi lama di sini, Tante kepikiran kenapa kita nggak sarapan bareng aja ya kayaknya seru." Ujar Tante Widya.
"Tahu begitu, biar kita saja yang masak. Ngerepotin begini." Timpal mamaku sambil menunjuk wadah bersusun yang kutebak dibawa oleh Johnny dan keluarganya.
"Ya nggak repot lho, Jeng. Waktu itu kan makan malam Jeng yang sediakan. Nah, sekarang gantian aku. Tapi maaf belum bisa ngundang ke rumah."
KAMU SEDANG MEMBACA
Bitterlove; Cerita Johnny--AU
أدب الهواةNamanya Johnny Aldebaran. Mungkin ibunya tahu bahwa kelak anak laki-lakinya ini hobi membuat jantung anak orang berdebar nggak karuan. ©2019, coffecoustic