Jefry mendengar suara pintu depan dibuka, saat sedang membuka kulkas hendak mengambil minuman. Ia buru-buru menutup pintu kulkas dan berjalan mengendap sambil menerka dengan was-was siapa yang membuka pintu pukul 3 pagi. Bersiap membawa dua kaleng minuman berkarbonasi yang memungkinkan dijadikan senjata kalau-kalau ada hal yang tidak terduga terjadi.
"Astaga!" Suara pekikan perempuan terdengar tepat ketika tangan Jefry menekan saklar agar lampu ruang tamu menyala. Jefry sedikit lega karena yang datang adalah kakak perempuannya.
"Kok lo masih bangun?" Tanya Kak Sindi kepada Jefry dengan suara yang berusaha dikeluarkan dengan pelan. Jefry mengucek matanya sambil duduk di sofa, sedangkan kakaknya mengusap dada berusaha menenangkan jantungnya yang berdegup kencang karena kaget.
"Nungguin lo. Dianter kan?" Tanya Jefry langsung pada intinya dan menyodorkan salah satu kaleng minuman. Sindi mengangguk dan langsung memahami pembicaraan yang akan baru akan dimulai bersama adiknya ini.
Kebiasaan kakak-beradik ini sebelum mulai bicara adalah menatap langit-langit. Kadang langit betulan juga mendapat jatah ditatap oleh mereka kalau sedang iseng berbaring di atas rumput taman belakang rumah. Tapi kali ini, langit-langit ruang tamu mendapat giliran. Keduanya kompak menyandarkan kepala pada sandaran sofa sambil duduk bersebelahan. Menjadikan jeda sebagai pembuka sebelum pembicaraan langsung pada intinya.
"Lo beneran nonjok Johnny tadi siang?" Tanya Sindi. Jefry menyunggingkan salah satu sudut bibirnya yang ia yakin Kak Sindi pasti tidak menangkapnya.
"Emang dia ngadunya gitu?"
"Ya enggak. Dia bilangnya hampir. Tapi nggak jadi. Lu yang nggak jadi nonjok apa dia yang ngehindar?" Pertanyaan Kak Sindi ini membuat ingatan Jefry banyak membuka cerita-cerita yang waktunya sudah berlalu.
*
"Pokoknya Kakak mau lindungin adek!"
Kalimat itu menjadi kalimat pertama yang paling Jefry ingat dari kakak perempuan satu-satunya ini.
Dalam ingatan Jefry, masa kecil mereka dihabiskan dengan sangat menyenangkan. Kakak yang selalu merasa lebih tahu dan mengajarkan segala hal pada adik, yang selalu memeluk. Adik yang membuntut setiap langkah kakak, yang kadang menangis akibat cubitan kakak yang terlalu gemas.
Selain ingin ikut Papa pergi kerja, Jefry kecil juga selalu langsung ribut ketika jemputan sekolah sudah ada di depan rumah untuk menjemput Kak Sindi yang waktu itu masih TK. Tidak jarang, Mama kewalahan dan mengalah bersiap secepat kilat untuk mengantar Kakak sekaligus mengajak si adik yang menangis ingin ikut Kakak sekolah.
"Adek mau sekolah sama kakak." Dalam ingatannya yang lain, Jefry memaksa ingin berada di satu sekolah yang sama dengan Kak Sindi.
"Iya nanti Adek satu sekolah sama Kakak ya!" Seru Kak Sindi kala itu terdengar semangat yang dibalas anggukan lebih semangat oleh kepala Jefry kecil.
Tapi masa pertumbuhan adalah hal yang paling tidak bisa dihindari mahluk hidup di planet ini. Seiring berjalannya waktu, ingatan Jefry mempercepat cerita ketika Sindi selalu membelanya saat Jefry menangis di sekolah dasar.
Mungkin teman-teman yang meledeknya tidak berani jika Jefry sedang bersama Kakak. Tapi saat sendiri, mereka akan bicara kalau Jefry tidak bisa berbuat apa-apa tanpa kakaknya.
Ketidakterimaannya merubah banyak hal termasuk menumbuhkan rasa gengsi. Jefry yang biasanya akan pergi sekolah naik sepeda dengan Kakak, sejak itu ia memilih untuk pergi sekolah sendiri. Atau ketika pulang, Jefry tidak lagi menunggu kakaknya dan pulang lebih dulu.
Di sekolah, mereka menjadi jarang saling menghampiri. Jefry yang selalu menghindar membuat Kak Sindi menyadari bahwa adiknya mulai membuat jarak dengan alasan malu karena sudah besar.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bitterlove; Cerita Johnny--AU
FanfictionNamanya Johnny Aldebaran. Mungkin ibunya tahu bahwa kelak anak laki-lakinya ini hobi membuat jantung anak orang berdebar nggak karuan. ©2019, coffecoustic