Johnny itu; gue

5.7K 1.1K 367
                                    

- Johnny Aldebaran







"Gue mau jadi pacar lo, John." Gue hampir menyemburkan kopi yang baru gue minum waktu denger Yasmin tanpa aba-aba bilang mau jadi pacar gue.

"Gimana Yas?" Tanya gue terdengar bodoh.

"Iya. Gue mau jawab pertanyaan lo dulu waktu lo tanya apa gue mau jadi pacar lo. Gue jawab sekarang, mau." Suaranya terdengar yakin tapi gue malah makin mengerutkan dahi.

"Yas, tapi itu udah 8 tahun lalu?"

"I know. But, better late than never right?" Seru Yasmin ceria. Mata gue tidak lepas menatap Yasmin yang selalu sama cantiknya. Bagi gue dia selalu secantik ini. Dari sejak dia berhasil membangun taman penuh kupu-kupu di perut gue dulu, waktu ulang tahun Grace, teman satu kelas kami di sekolah menengah pertama, dengan gaun pesta warna biru langit yang ia bilang hadiah ulang tahun dari ibunya.

















Kalau gue harus memberi arti, Namira Yasmin adalah sebuah pengalaman berharga yang nggak akan pernah bisa gue lupa dan punya tempat sendiri di ruang hati gue.

Gue kenal dia sejak kecil. Pernah tinggal bersama karena Mama yang mengajaknya untuk tinggal dengan keluarga kami di Amerika.

Dulu, gue adalah salah satunya yang percaya bahwa tidak ada persahabatan murni antara laki-laki dan perempuan. Setiap hari selama 3 tahun, gue selalu dengan Yasmin. Di rumah, di sekolah. Bahkan kami selalu satu kelas. Tidak ada hari yang tidak gue habiskan dengannya. Kalau kebetulan kami tidak ada di satu kelompok belajar yang sama, Yasmin akan mengikuti dan menunggu gue selesai sampai kami bisa pulang ke rumah bersama. Begitu juga sebaliknya. Karena itu kami mulai saling bergantung dan gue mulai merasa ada letupan-letupan kecil di dalam dada setiap gue menatap wajahnya.

Gue sangat ingat, Yasmin yang pertama kalinya memberi gue rasa "taman kupu-kupu di perut" ketika dia berdandan untuk datang ke pesta ulang tahun teman sekelas kami. Gue ulangi, dia cantik. Selalu. Dan sejak itu gue tahu kalau gue nggak bisa hanya sekedar berteman dengannya.

So I decided to confess my feeling for her on the prom night when we still middle school.

Bodohnya gue, melupakan fakta bahwa Yasmin tengah menghadapi perceraian orang tuanya saat itu. Gue tahu dia selalu tidak percaya dengan sebuah hubungan karena dia selalu melihat Ayah dan Ibunya bertengkar setiap hari. Bahkan menurut gue, terlalu dewasa ketika dia menyatakan tidak mau percaya soal perasaan cinta padahal umurnya masih 14 tahun.

Sampai 2 hari setelah hari pengakuan gue, Yasmin pergi. Tanpa pamit, tanpa pesan, tanpa jawaban untuk pertanyaan atas perasaan gue. Dia bahkan nggak meninggalkan jejak sama sekali untuk bisa dihubungi. Gue bahkan tau kalau Yasmin ke Jepang ikut Ayahnya pun dari Mama dalam keadaan baru bangun tidur.

Otak remaja gue bener-bener nggak bisa mikir saat itu. Yang terlintas cuma gue bisa ketemu Yasmin kalau gue pindah dan tinggal di rumah nenek.

Then I told my mom, gue mau pindah dan nerusin sekolah di Bandung. Meskipun gue nggak bilang alesannya karena Yasmin. Iya, gue memang se-bucin itu.

Sebetulnya gue cuma nggak suka nggak dikasih jawaban. Dan selama 3 tahun gue nunggu meskipun tanpa hasil.

Gue pada akhirnya beneran clueless, nggak tahu harus mulai cari Yasmin dimana karena rumahnya yang dulu pun sudah tidak ditempati ibunya. Nenek bahkan nggak tahu kemana ibunya pindah setelah beliau dan Ayah Yasmin resmi bercerai.

Waktu media sosial mulai rame, gue tetep nggak bisa nemuin akun Yasmin sama sekali.

Jangan bilang gue nggak ada usaha buat lupain dia. Selalu. Gue selalu coba buat ngejalanin hubungan sebagai distraksi perasaan gue kepada Yasmin. Tapi hasilnya, gue tetep selalu mencari sosok perempuan itu di antara semua perempuan yang deket sama gue. Kalau gue nggak nemu, gue bakal ngerasa nggak nyaman dan ngerasa bersalah lalu meninggalkan mereka.

Bitterlove; Cerita Johnny--AUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang