Johnny itu; pulang.

7.3K 1.1K 282
                                    

Kakinya melangkah semakin mendekat. Mataku menatapnya lekat. Penampilannya tidak kalah berantakan dengan suasana hati sendiri. Kemejanya tergulung hingga siku, bagian depannya sudah terlihat lusuh. Rambutnya yang terlalu sering diseka menjadi sangat tidak tertata.

Kakiku melangkah mundur. Hanya satu kali. Karena jauh dilubuk hati ada gembira karena dihampiri. Permen lolipop sudah ada dalam genggaman dan masih menyisa setengahnya minta segera dihabiskan.

"Banyak yang perlu kita obrolin." Tanpa sapaan, Johnny langsung mengutarakan tujuannya. Suaranya yang sudah beberapa hari tidak terdengar telinga hampir membuat hati meledak. Sangsi, kepala bergerak ke kanan dan ke kiri pura-pura mengamati suasana.

"Ya udah."

"Nggak disini." Ujar Johnny tenang. Aku kembali menatapnya yang tengah menunjuk ke arah rumah dengan dagu. Mengerti itu sebagai isyarat bahwa ia tidak mau obrolan kami sampai terdengar keluargaku.

"Di mobilmu?" Pertanyaanku tidak dijawab karena Johnny langsung membalikkan tubuhnya dan berjalan cepat ke arah mobil kemudian membukakan pintu bagian depan penumpang untukku. Dalam hati aku ragu, tapi kaki tetap bergerak perlahan mendekatinya. Mata lagi-lagi ingin menatap sebelum aku masuk dan dia menutup pintu. Kemudian setengah berlari Johnny memutari mobil ke sisi satunya.

Begitu masuk, Johnny langsung memasang sabuk pengaman dan menyalakan mesin. Aku menoleh karena kukira kami hanya akan bicara di dalam mobilnya tapi ketika satu tangannya memindahkan preseneling, tanganku menarik sabuk pengaman untuk perjalanan tanpa tujuan ini.

Radio di dalam mobil otomatis menyala. Suara penyiar perempuan tengah mengudara sambil memutar lagu-lagu tahun 90 sampai awal 2000 yang hits pada masanya. Lagu-lagu itu pula yang menjadi pengisi hening di antara aku dan Johnny selama perjalanan yang tidak bisa kutanyakan kemana tujuannya. Johnny juga tidak kunjung bicara, saat melirik dia sibuk memerhatikan jalan. Salah satu tangannya bersedia di perseneling sedang yang satunya lagi menjaga keseimbangan kemudi. Sebelum aku pada akhirnya membuang muka menatap jalanan gelap dari kaca jendela sembari menghabiskan permen lolipop dari Yuta yang ukurannya sudah sangat kecil.

Betul kata Yuta. Semuanya harus diselesaikan. Masalah aku dan dia --apakah masih boleh jika aku masih menyebut kami?-- harus segera selesai. Entah itu akan selesai dengan akhir yang baik atau tidak, semua perlu selesai. Semuanya perlu berakhir.

Jalanan agak tersendat karena lampu lalu lintas yang sedang berwarna merah. Tepat saat itu, lagu yang terputar di radio cukup membuatku tersenyum diam-diam karena merasa lucu dan perih sekalian.

"...Karena cinta tak akan ingkari
Tak kan terbagi
Kembali lah pada dirinya
Biarku yang mengalah..."

Permen lolipop sudah habis. Aku membuang batangnya ke dalam tempat sampah kecil dengan cepat sebelum kembali memalingkan wajah yang mulai terasa ngilu.

Sampai mobil terparkir di sebuah basement, aku baru sadar kalau ternyata tujuannya adalah apartemennya. Tanpa sepatah kata Johnny langsung melepas sabuk pengaman dan membuka pintu. Mau tak mau aku mengikuti dan berjalan mengekor berjarak beberapa langkah darinya. Kami benar-benar diam seribu bahasa bahkan sampai pintu lift di basement terbuka.

Johnny menahan tombolnya agar pintu tetap terbuka sambil kepalanya bergerak menyuruhku masuk lebih dulu. Tanpa memprotes, aku masuk disusul olehnya yang berdiri tepat di depanku tapi memunggungi. Kemudian pintu lift tertutup dan mulai bergerak naik.

Kepala perlahan terangkat, mata mulai memandang punggungnya tanpa diketahui si empunya. Otak sudah tidak bisa dicegah untuk memikirkan kemungkinan terburuk untuk apapun yang berakhir hari ini. Semuanya terus berjalan memikirkan kalau mungkin malam ini akan jadi yang terakhir aku bisa memandangnya sedekat ini. Hanya memandang, aku harus mulai merasa cukup dengan itu.

Bitterlove; Cerita Johnny--AUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang