Hari-hari menyiapkan pernikahan rasanya campur aduk. Lelah tapi seru. Agak menyebalkan tapi juga menyenangkan. Meskipun dibantu oleh wedding organizer, aku dan Johnny tetap ikut turun tangan atas semua perencanaan.
Kali ini, Johnny minta diantar untuk memberikan undangan kepada kerabatnya. Katanya sudah janji akan bertemu dengan Kirana.
Seingatku, ini pertama kali aku mendengar nama Kirana. Tapi Johnny bilang, dia sudah pernah cerita soal anak teman Om Bima yang melakukan penyuluhan gigi di acara gathering tahunan perusahannya waktu itu. Aku ngotot merasa tidak ingat dan membuat Johnny menyerah untuk kembali menjelaskannya.
"Jadi dulu, waktu aku masih kecil ayahnya Kirana S2 di Amerika. Tetanggaan lah kita. Even cuma sebentar sih, soalnya S2-nya Ayah Kirana udah selesai jadi mereka sekeluarga balik ke sini." Aku hanya mengangguk-anggukkan kepala selagi mendengar cerita Johnny.
Intinya, Om Bima dan Tante Widya tidak sempat ke Jakarta untuk memberikan undangan kepada keluarga mereka. Kebetulan Kirana sedang ada keperluan di kota ini maka Johnny membuat janji bertemu dengannya untuk menyampaikan undangan.
"Sekeluarga dokter semua, Yang." Gumam Johnny dengan mulut penuh karena baru saja menyuap penuh kentang goreng ke dalam mulutnya.
"Oh ya? Keren. Aku juga nanti mau anakku jadi dokter ah." Balasku asal. Di tengah mengunyah kentang, mulut Johnny yang masih sempat mengulas senyum.
"Aku juga."
"Ngikutin!" Omelku.
"Lho? Anak kamu kan anakku juga?" Johnny memasang wajah kaget yang berlebihan, sebelum tawa kami berdua pecah berbarengan. Suasana cafe yang riuh membuatku berharap semoga tidak ada yang mendengar obrolan kami ini.
Suara lonceng di atas pintu cafe yang berguna sebagai tanda pintu terbuka tidak pernah berhenti menarik perhatianku sejak aku berada di cafe ini. Aku selalu menengok ke arah pintu yang terbuka setiap kali loncengnya bunyi. Tapi, jika beberapa waktu lalu setelah orang yang membuka pintu masuk aku langsung mengalihkan pandangan, tidak dengan kali ini.
Aku sempat mematung beberapa saat ketika melihat dua orang dari luar membuka pintu cafe dan membuat loncengnya berbunyi. Lelaki dan perempuan. Si lelaki masuk lebih dulu dan menahan pintu cafe, membiarkan si perempuan lewat hingga masuk baru kemudian si lelaki melepas pegangan pintu yang terbuat dari kayu dan membiarkan pintu tertutup kembali.
Kepala keduanya bergerak, mata mereka menyisir lantai satu cafe ini sampai keduanya kompak berhenti tepat setelah menangkap mataku yang memerhatikan mereka dari jarak yang tidak terlalu jauh. Aku sempat mengerjap karena tidak percaya saat keduanya bergerak melangkah semakin mendekat ke arah mejaku dan Johnny.
"Yang? Kok ngelamun?" Pertanyaan Johnny berhasil menarik kesadaran. Aku menoleh sebentar dan mengisyaratkan bahwa ada dua orang yang akan menghampiri kami. Mungkin dia juga penasaran, matanya ikut-ikutan melihat ke arah objek yang membuatku diam seperti patung.
Tapi siapa sangka, ternyata ekspresi Johnny di luar dugaan. Kedua alisnya hampir menyatu berkat matanya yang memicing agar bisa melihat dengan jelas. Bola matanya kemudian bergerak menatap dua orang yang semakin mendekat ke arah kami bergantian.
"Hai Kak Johnny. Maaf nunggu lama." Sapa si perempuan terdengar merasa tidak enak. Tapi Johnny hebat karena bisa langsung mengubah ekspresinya dengan senyum tipis di bibirnya.
"It's okay, Ki. How are you?" Johnny berdiri dan mengulurkan tangan kepada seseorang yang ia panggil Ki. Aku otomatis ikut berdiri ketika uluran tangan Johnny disambut.
"Ini Kirana." Jelas Johnny sambil menunjuk Kirana. Aku mengangguk dan berusaha memasang senyum meskipun aku masih bingung dengan situasi sekarang. Kirana berganti menjabat uluran tanganku dengan ramah tapi mataku tidak lepas menatap lelaki di sebelah Kirana yang tengah menggembungkan kedua pipinya menahan tawa.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bitterlove; Cerita Johnny--AU
Fiksi PenggemarNamanya Johnny Aldebaran. Mungkin ibunya tahu bahwa kelak anak laki-lakinya ini hobi membuat jantung anak orang berdebar nggak karuan. ©2019, coffecoustic