Berubah

5.7K 143 5
                                    


"Sarapan guys!" Teriak Sajidah sambil menata makanan di ruang tengah. Tidak ada lagi meja makan yang megah dirumah keluarga gen halilintar.
Satu persatu keluar dari kamar dan memenuhi ruang tengah.
Tanpa aba aba mereka segera berebutan menyendok nasi dan lauk pauk, sangat rusuh.

"Apaan si teh?!" Kesal Fatim saat adiknya itu mencomot telur miliknya.

"Kak jidah masa Fatim ngga kebagian telur dadar." Keluh Fatim.

"Kak jidah soleha juga mau telur nya." Soleha menatap iri piring milik qahtan.

"Qahtan bagi dua telurnya sama kak soleha." Titah Iyyah yang juga sedang membelah telur dadar miliknya untuk ia bagi dengan Fatim.

"No kak Iyyah, it's very small." Qahtan berbalik badan dari hadapan soleha.

"Kak jidah aai jail banget nih ah." Iyyah berusaha merebut sendok miliknya dari saai.

"Jid, nggak ada lagi?" Tanya sohwa lirih, ditangan nya hanya ada piring kosong karena nasi telah habis tak tersisa.

Jidah mengangguk lesu.
"Uang bulanan kita menipis kak." Ujar jidah pelan.

"Jangan berebutan! Makan dengan tenang! Yang kebagian lauk bagi sama yang belum kebagian." Ujar thariq yang baru saja keluar dari dapur.

"Kak sohwa,kak jidah." Fatim menatap kedua kakaknya.

"Kenapa tim?" Tanya mereka bersamaan.

"Kalian nggak makan?"

"Kak jidah udah makan duluan." Jawab Jidah bohong.

"Kak sohwa mau sarapan di kampus, soalnya buru-buru byee." Sohwa segera bangkit dan berjalan menuju pintu.

"Bang thariq?." Saai menatap thariq yang tak menyentuh makanan sedikitpun.

"Kenapa?" Tanya thariq yang sibuk memasang sepatunya.

"Nggak makan?."

Bagaimana mau makan, makanan nya saja sudah habis.

"Nanti aja." Jawab thariq singkat.
"Bang thariq berangkat dulu ya, assalamualaikum." Pamit lelaki itu yang sekarang menjadi pengganti abi mereka.

"Waalaikumsalam." Jawab mereka kompak.
____________________________________________

Sohwa hanya ada satu mata kuliah hari ini. Ia segera meninggalkan kampus setelah kelasnya selesai.

Sohwa berjalan lesu di trotoar, cacing di perutnya terasa meronta ronta meminta segera diberi asupan. Sohwa merogoh tote bagnya dan mengambil dompet. Hanya tersisa 20ribu disana.
Sohwa menghelas nafas pelan dan melihat sekeliling. Dari kejauhan ia melihat sebuah warteg, ia segera menuju ke tempat itu untuk mengehentikan demo cacing cacingnya di dalam perut.

Saat sohwa hendak menyebrang, tiba tiba seorang anak kecil berlari ke arahnya sambil brteriak.

"MAMA!! MAMA INI NAFA." teriak gadis itu bersemangat.

Sohwa terperangah saat anak kecil itu memeluk kakinya erat, sangat erat.

"Nafa jangan lari lari!!" Seorang lelaki berpakaian rapi berlari menyusul anak kecil yang kini sedang memeluk kaki sohwa.

Lelaki itu tampak terkejut setengah mati ketika melihat wajah sohwa.

"PAPA LIHAT!! INI MAMA!!." Anak kecil itu menarik lelaki tadi yang masih tercengang melihat sohwa.

Sohwa tak kalah terkejut saat anak kecil itu mengatakan bahwa ia mama nya.

"Na..nadine?." Lelaki itu menatap sohwa dalam.

"Nadine?." Sohwa bingung. "Maaf tapi saya bukan Nadine." Ucap nya kemudian.

Lelaki itu mengerjapkan matanya.

"Kamu...siapa?." Tanya lelaki itu terbata.

"Saya sohwa, lagipula saya ngga kenal dengan Nadine." Sohwa masih bingung. Apa maksud lelaki dan anak kecil ini.

"Boleh lihat kartu identitas kamu?." Pinta lelaki itu.

Tanpa banyak tanya Sohwa segera mengeluarkan kartu mahasiswanya dari dalam dompet.

Lelaki itu memperhatikan dengan seksama kartu identitas milik sohwa, setelah puas melihat ia mengembalikan kartu itu pada sohwa.

Lelaki itu kini mengeluarkan dompet dari saku celana bahan nya.
Ia membuka dompet dan mengambil sebuah foto yang terselip disana, memberikannya pada sohwa.

"Dia istri saya, dia meninggal 5 tahun lalu saat melahirkan Nafa." Ucap nya lirih.

Sohwa terkejut ketika melihat foto lelaki itu bersama perempuan dengan perut besar nya dan perempuan itu sangat sangat mirip dengan nya, seperti tidak ada perbedaan.

"Saya kira istri saya memiliki kembaran, ternyata nama belakang kalian berbeda, tempat dan tanggal lahir juga berbeda, tahun nya juga beda." Lelaki itu mengehela nafas gusar, dan mengambil kembali foto itu dari tangan sohwa.

"Kenapa bisa mirip." Gumam sohwa pelan tetapi lelaki itu mendengarnya.

"Setiap orang memiliki 7 kembaran di dunia." Lelaki itu segera menggendong putri nya dan bergegas pergi dari sana.

"PA, NAFA MAU SAMA MAMA!!" teriak gadis kecil itu sambil menarik ujung hijab sohwa sampai gadis itu memiringkan kepalanya.

"Dia bukan mama kamu sayang, cuman mirip aja." Lelaki itu mencoba menjelaskan pada putrinya.

Sohwa masih mencoba melepaskan tangan anak kecil itu dari hijabnya.

"Pokonya Nafa nggak mau pulang kalau mama ngga ikut!!!" Anak kecil itu tetap bersikeras bahwa sohwa adalah mama nya.

"Nafa, dia bukan mama kamu!" Lelaki itu sedikit membentak putri nya.

Akhirnya Nafa menangis, sangat kencang.

Lelaki itu mengacak rambutnya frustasi.

"Kamu mau ikut saya?" Lelaki itu menatap sohwa datar.

"Ikut?"

"Ya, tenang saja saya bukan orang jahat, ini cuma demi Nafa."

Sohwa berpikir sejenak, ia juga tidak tega melihat Nafa menangis sesenggukan seperti itu. Akhirnya sohwa mengiyakan ajakan lelaki itu, dia juga kelihatan nya orang baik.

"Yeay Nafa punya mama." Sorak Nafa gembira.
____________________________________________

Fatim dan Fateh berjalan beriringan menyusuri jalanan yang sukup sepi.
Hari sudah hampir gelap tetapi kedua siswa sekolah menengah pertama itu masih berkeliaran mengenakan seragam sekolah.
Mereka tampak membawa sebuah keranjang plastik berukuran sedang di tangan masing masing.

"Capek ya teh." Fatim menyeka keringat di dahi nya.

Fateh mengangguk.
"Dulu mana ada kita jualan sampai sore gini, pulang sekolah jalan kaki aja nggak boleh sama umi." Ujar Fateh mengingat kehidupan nya yang dulu, sebelum semua masalah itu terjadi.

"Kita harus mandiri sekarang, harus terbiasa tanpa umi sama abi." Fatim terseyum pada Fateh.

"Harus menghadapi apa yang belum siap kita hadapi." Fateh menghela nafas.

"Kita harus siap menghadapi apapun yang terjadi teh, kita masih punya kakak dan abang yang sayang sama kita, kita juga masih punya adik yang harus kita kasih contoh, kalau kamu sebagai abang aja nggak siap menghadapi masalah ini, gimana adik kamu bisa siap, menghadapi masalah." Fatim menasehati panjang lebar.
"Liat soleha sama qahtan, mereka seharusnya lebih nggak siap dibanding kita, mereka terlalu kecil untuk masalah sebesar ini. Tapi liat, mereka kuat, mereka mampu tanpa umi dan abi, karena mereka punya kakak dan abang yang sayang dan menguatkan mereka, jadi kita harus sayang dan menguatkan mereka suapaya mereka juga kuat dan mampu menghadapi masalah ini." Fatim mengusap pundak Fateh.

Fateh pun merangkul pundak Fatim dan terseyum pada kakaknya.

"I love you kak fatim." Fateh mengerlingkan matanya.

"Apaan sih?!" Fatim mendorong Fateh pelan dan kemudian mereka tertawa bersama.
____________________________________________

Maaf kalalu berantakan:))
Jangan lupa vote dan komen yaa❤❤

 Kesebelasan tanpa pelatihTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang