20; Sesak

194 31 1
                                    

Mataku menatap ujung sepatu hitamku yang aku kenakan. Aku berangkat pagi-pagi sesuai dengan saran Juna waktu itu. Dan disinilah sekarang aku berdiri, di dekat parkiran dimana Juna biasa memarkirkan sepedanya.

Tadi sebenarnya aku bertemu Juna dijalan. Seperti biasa dia menaiki sepeda tuanya yang selalu menemani dia kemanapun dia pergi. Aku diam termangu menatap kosong parkiran sepeda. Ternyata aku pernah duduk diboncengan sepeda Juna, dan juga jangan lupakan aku pernah memeluknya waktu ia menyuruhku sebab ia tidak ingin aku kenapa-napa.

Aku langkahkan kakiku buru-buru menuju kelas saat aku dengar decitan rem sepeda dan bel sepeda yang dimainkan oleh sang pemilik sepeda tersebut.

Hafal jelas aku dengan suara bel sepeda Juna. Maka dari itu aku langsung beranjak ke ruang kelas tanpa menunggu Juna terlebih dahulu. Lebih tepatnya aku menghindar secara sembunyi-sembunyi, bukan terang-terangan.

Ku hela nafas ketika aku sudah duduk dibangku biasa aku duduk disebelah Tania. Aku tatap kursi Tania dan juga kursi Juna yang ada dibelakang bangku ku.

"Mereka.. Bener-bener udah jadian, ya?" tanyaku pada diri sendiri.

Bibirku tersenyum getir melihat kedua bangku tersebut. Untung saja belum ada siswa yang berangkat. Jika ada mungkin aku akan dikatai sebagai anak freak yang bicara pada diri sendiri.

"WEY! SEKARANG BERANGKATNYA PAGI AMAT."

Aku langsung berbalik badan melihat siapa yang mengagetkanku dengan menepuk pundakku seraya berkata seolah aku ini murid yang selalu berangkat sekolah mepet jam masuk. Ya, memang sih memang, aku akui.

Buru-buru aku ubah raut wajahku seperti biasanya. Seolah tidak ada kesedihan yang aku rasakan saat ini. Aku harus kuat. Ingat, ini salahku juga.

"Sa ae lo, pak ngagetinnya. Nanti kalo jantung gue copot gantiin ya?" gurauku pada Juna yang sedang terkikik melihat wajah nelangsaku.

"Hahaha.." ia menjeda tawanya, "Jangankan jantung, seluruh ragaku dan jiwaku buat lo nggak apa-apa deh, Nat."

Aku mendengus pelan, "Lo tuh kalo genit-genit ke gue ntar gue hajar lo. Inget, lo udah punya Tania."

Tangan Juna dengan santainya menepuk pelan pundakku, "Calm down. Gue bakal ngejaga Tania kok. Tenang aja gue cinta dia sepenuh hati seluruh jiwa raga. Aseeeek!"

Tawaku getirku meledak. Aku tertawa sekencang-kencangnya. Melawan rasa sesak yang kian membuncah saat kata-kata yang barusan Juna katakan terngiang kembali di telingaku.

"Udah ah, gue mau ke toilet. Kebelet pipis jadinya gara-gara kebanyakan ngakak." pamitku yang diangguki oleh Juna

Kakiku berjalan cepat menuju toilet. Sedangkan tangan kananku menepuk-nepuk dadaku yang rasanya semakin sesak. Air mata tidak sanggup aku tahan lagi. Aku menangis dalam diam dan berjalan tergesa-gesa seperti orang bodoh sampai aku berhenti karena seseorang menarikku sampai badanku berbalik menghadapnya.

Sambil menatap aku yang tertunduk dia berkata, "Lo kenapa, Nat?"
















HAYOLOH SIAPAAA HAYO?!!!!

ReasonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang