17; Pelajaran Dari Dirga

178 26 0
                                    

Mataku mengamati ruang tamu rumah kontrakan Bu Jati yang sekarang ini dihuni Dirga. Sebenarnya aku penasaran, setahuku Dirga itu kaum menengah ke atas. Tapi kenapa mengontrak di rumah sederhana bukannya beli apartemen seperti di novel-novel? Kenapa juga dia pindah ke sini? Rumah mewahnya tidak senyaman rumah sederhana ini 'kah?

Rentetan pertanyaan dalam benakku kusimpan dalam-dalam saat aku mendengar langkah kaki Dirga. Iya, dia laki-laki brengsek yang tempo hari menghina kekurangan Mama Juna. Rupanya jadi tetanggaku sekarang.

"Dimakan sama diminum, Nat. Gue adanya itu doang." tawar Dirga sambil menaruh sepiring brownies yang aku bawa tadi beserta air mineral botol 1 literan.

"Iya makasih," ucapku pelan. Heran, nggak seberandal di sekolah.

Dirga mendudukan bokongnya di kursi single di depanku. "Eh, lo kalo nggak nyaman disini boleh pulang kok. Gue nggak maksa lo bertamu."

Mataku memincing, "Lo ngusir gue?"

Dirga tampak gelagapan dengan pertanyaan yang aku lontarkan, "Nggak kok. Beneran. Takutnya lo nggak nyaman aja satu ruangan sama gue. Secara gue di sekolah tuh sering banget ngisengin lo sama Juna."

"Makanya berhenti jadi orang brengsek." sarkasku yang anehnya membuat Dirga tertawa miris.

Dirga menatapku tepat dimataku membuat aku terdiam. "Jadi brengsek sama enggak, nggak ada bedanya bagi gue, Nat."

Tidak biasa ditatap tepat dimata, aku memutuskan kontak mata dengan Dirga. "Mau jadi brengsek pun lo tetep ada temen 'kan? Gitu maksut lo?"

"Duh, malu gue mau jawab hahaha.." Dirga diam sejenak lalu melanjutkan kalimatnya, "Gue sebenernya nggak ada temen kali. Yang deket sama gue paling mau panjat sosial doang. Kalo gue butuh nyatanya nggak ada."

Aku diam membatu. Rupanya aku tadi bicara terlalu sarkas dan menyangkut perihal yang sensitif. "Maaf, Ga. Gue —gue nggak maksut. Gimana sih ngomongnya ya. Gue jadi nggak enak sama lo. Maaf."

"Santai aja kali."

Kepalaku mengangguk kaku mengiyakan saran Dirga untuk tetap santai. "Eh, lo kenapa tiba-tiba ngontrak disini deh? Bukannya lo biasanya lo dirumah sama bokap lo?"

"Gue minggat," sahutnya cepat. "Dan gue nggak pernah dirumah sama bokap. Dia biasanya di apartemen deket kantornya." aku ber-oh ria sambil menganggukkan kepalaku pelan tanda paham.

Oooh, jadi bokapnya temen Mama.

"Lah? Maaf nih sebelumnya, bukannya lo ada komplotan tuh. Kenapa nggak dirumah mereka aja? Kan lebih bagus daripada ini kontrakan."

"Wah, kayaknya emang lo nggak mau tetanggan sama gue ya?" Dirga tertawa hambar yang mendapat gelengan dariku. "Enggak kok, Nat. Gue disini nggak lama. Abis itu gue rencana mau pindah ke Jogja mau ikut eyang uti gue. Jadi jangan khawatir."

Dirga berdehem menetralkan suaranya. "Ehm gini-gini, kan gue tadi udah bilang, temen yang deket sama gue itu rata-rata panjat sosial doang. Kalo nggak ya cuma ngajakin gue nongkrong biar gue yang bayar jajan mereka. Selebihnya saat gue butuh bantuan ada aja alasan buat ngehindarin —atau lebih tepatnya nolak saat gue mintain bantuan."

"Lo minggat kenapa, sih? Udah enak rumah lo gede gitu."

"Rumah gede nggak menjamin orang yang menempatinya bakal nyaman kali, Nat. Makanya gue nggak betah disana."

"Iya sih, kayak ibarat duit nggak menjamin manusia bakal bahagia. Iya nggak, sih?"

Dirga mengacungkan jempolnya, "Setuju. Bener banget."

Aku tertawa melihat respon Dirga. Dia sedari tadi tertawa meskipun topik yang aku obrolkan dengannya terkesan garing. Siang itu, dia memberitahuku bahwa segala fasilitas mewahnya tidak membuatnya bahagia. Dia menyuruhku untuk bersyukur mempunyai orang yang baik dan menyayangiku disekitarku. Dia —yang sedari tadi masih tertawa hambar, sorot matanya tidak menjelaskan bahwa ia sebahagia gelak tawa yang ia buat-buat.


ReasonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang