21; Berlalu dan Hilang

213 29 3
                                    

Tiga bulan berlalu terasa cepat. Sudah tiga bulan juga Tania dan Juna menjalani hubungannya yang makin lama makin manis dan semakin pahit aku pandang. Beberapa kali aku pernah menjumpai mereka berboncengan menggunakan sepeda Juna.

Waktu memang cepat berlalu. Tiga bulan masa tersulit untuk aku melupakan Juna bukanlah hal yang sepele untuk aku lakukan. Aku semakin giat membuat diriku sibuk.

Sudah tiga bulan pula sejak Dirga menarik tanganku lalu membawaku ke dekapannya. Saat itu aku begitu memaksa untuk tegar tetapi kenyataannya aku tidak sekuat yang aku kira. Pagi itu, aku menangis sambil memukuli dada Dirga pelan. Aku kalut, bingung, dan sakit.

Masih aku ingat jelas saat Dirga membisikkan kata mutiaranya, "Jangan stuck di satu cowok, Nat. Hidup lo masih panjang. Yang sayang sama lo juga banyak. Udah, jangan nangis lagi." bukannya menenangkanku kata-kata Dirga justru membuatku semakin terisak dalam dekapannya pagi itu.

Aku yang dulu membenci Dirga karena kelakuannya yang aku anggap brengsek, sekarang malah dia jadi pelipur sepiku. Dia senantiasa menemaniku mencari kesibukan sebagai pengalih pikiran ketika aku mulai mengingat Juna. Contohnya, malam ini Dirga mengajariku cara bermain gitar dengan telaten.

Dirga dan aku kini sedang duduk lesehan di atas karpet, tepatnya di teras rumah Dirga.

Satu gitar milik Dirga dipangkuan Dirga. Sedangkan satu gitar Bang Jefri yang ada di pangkuanku.

Sedari tadi Dirga dengan sabarnya mengajariku meletakkan jari-jariku diatas senar gitar yang berjajaran. Kadang aku mengeluh sakit saat aku rasakan perih diujung jariku karena terkena gesekan senar.

"Nah, itu lo mulai bisa dikit-dikit." seru Dirga saat melihatku mempraktekan apa yang ia ajarkan.

Mataku membesar tidak menyangka, "Masa sih? Beneran gue bisa?"

"Kalo misal gue bohong, untungnya buat gue apa?"

"Hm," aku diam berpikir sambil mengetuk-ngetuk body gitar dengan jariku. "Kalo lo bohong gue udah bisa, ntar 'kan lo jadi nggak usah susah-susah ngajarin gue lagi."

Jari telunjuk Dirga mendorong kepalaku pelan, "Pikiran lo dangkal amat sih, Nat. Jangan dibiasain su'udzon gitu. Nggak baik. Paham?"

Aku menganggukkan kepalaku paham. "Ashiapp!" jawabku sambil menirukan gaya seorang gaya YouTubers.

Dirga tertawa melihatku yang konyol —begitu katanya. Padahal menurutku aku ini biasa, normal, dan wajar. Tapi Dirga selalu bilang aku ini aneh, lucu, dan tidak jelas. Maka tidak jarang aku mencubit lengannya sampai dia mengaduh kesakitan lalu meminta ampun dengan mengucapkan kalimat alaynya yaitu, "Ampun nyai, ampun.."

Masih mending kalau dia mengucapkannya dengan raut wajah normal. Nah, yang ini nih, dia tidak pernah menunjukkan wajah normalnya. Kadang aku mengatakan bahwa dia sebenarnya kurang satu ons alias gila.

Gelak tawa Dirga tiba-tiba berhenti saat pria paruh baya datang dengan menggunakan mobil mewah beserta jas kerja formal yang menjadi sandhangannya.  Sontak aku dan Dirga menaruh gitarku lalu berdiri.

Raut wajah Dirga berubah total saat pria paruh baya itu memasuki pagar kontrakannya. Dapat aku lihat ketika pria paruh baya itu menatap Dirga, Dirga langsung membuang wajah kesamping.

"Dirga kamu masih belum mau pulang, nak?" tanya pria paruh baya itu dengan nada halus.

"Nggak." jawab Dirga dingin tanpa menatap pria yang bisa aku tebak bahwa itu adalah Papa Dirga.

Papa Dirga menatap Dirga dengan wajah lelahnya sehabis bekerja, "Kamu mau apa? Biar Papa beliin asalkan kamu pulang."

Mata Dirga menatap tajam Papanya. "Papa hidupin Kak Sarah dulu. Nanti aku pulang."

"Dirga, semua itu udah takdir yang digariskan Tuhan." jawab Papa Dirga dengan nada rendah seperti putus asa dalam membujuk anaknya untuk pulang.

Suara kekehan remeh keluar dari Dirga. "Semua nggak bakal terjadi kalo Papa nggak egois pengen menggabungkan dua perusahaan dengan menjodohkan Kak Sarah dengan orang yang sama sekali nggak Kak Sarah cintai. Bahkan orang itu juga nggak cinta sama Kak Sarah sampai-sampai tega nyiksa Kak Sarah sampe Kak Sarah depresi."

"Maaf," Papa Dirga menggapai tangan Dirga tapi Dirga malah menghempaskan tangan Papanya pelan. "Maafin Papa. Papa yang salah. Papa nggak akan mengulangi kesalahan Papa lagi."

"Papa pulang aja. Aku masih betah disini. Aku betah sama orang-orang sederhana sekitar aku yang peduli dan tulus sama aku. Aku nggak betah ditengah kemewahan tanpa ada orang yang bener-bener tulus mau peduli sama aku." jawab Dirga dengan nada yang melembut. "Papa bahkan kadang lupa ziarah ke makam Kak Sarah. Papa jarang dirumah. Papa malah dikantor terus dengan alasan kerja untuk mencukupi kebutuhan aku."

Papa Dirga terdiam mendengarkan curahan anaknya yang kadang ia abaikan dan memilih mengerjakan lembaran kertas ketimbang mendengarkan apa yang tengah terjadi maupun sedang dirasakan oleh anaknya

"Pa, aku anak Papa. Aku juga butuh perhatian Papa. Kebutuhanku nggak selalu menggunakan uang, Pa. Aku juga butuh kasih sayang dari Papa meskipun usia aku yang beranjak makin dewasa. Aku masih butuh bimbingan Papa buat jadi laki-laki yang lebih baik kedepannya." air mata akhirnya menetes dari kelopak mata Dirga. Padahal ia mati-matian menahan air mata sialan itu.

Dirga menghela nafas lalu mengusap air matanya kasar. Diciumnya punggung tangan Papanya seraya berkata, "Papa capek 'kan? Pulang aja nggak apa-apa Pa. Aku pengen nenangin diri biar nggak sedih terus mikirin Kak Sarah. Aku baik-baik aja disini."

Mereka berdua saling menatap satu sama lain sebentar sebelum mereka berdua lebur dalam pelukan antara ayah dan anak yang saling memendam sakit dan sesal kepada diri sendiri.

Papa Dirga mengurai pelukannya dengan Dirga. "Baik-baik kamu disini. Papa pulang dulu. Kalo butuh apa-apa hubungin Papa." Dirga hanya mengangguk sebagai jawaban.

"Oh iya, ini namanya siapa?" tanya Papa Dirga sambil menatapku ramah. Aku tergugup sebentar lalu mencium punggung tangan beliau, "Saya Nata, Om. Temennya Dirga."

"Nata ya? Namanya lucu ya ngingetin om sama kesukaannya Dirga, nata de coco." Papa Dirga tertawa membuat Dirga salah tingkah karena Papanya terang-terangan memberitahukan Nata bahwa Dirga yang katanya manly, bad, dan iseng ternyata suka nata de coco.

Aku hanya tertawa menanggapi cerita Papa Dirga. Sebelum berpamitan, beliau menepuk pundakku dan berkata, "Titip Dirga ya, nak. Kalo nakal dicubit aja."

Begitu kira-kira yang disampaikan Papa Dirga sebelum beliau masuk mobil dan meninggalkan tempat tinggal Dirga.

"Kalo laki-laki nangis tuh cemen nggak sih, Nat?"

Pandanganku langsung menuju Dirga saat ia berkata begitu. "Laki-laki juga manusia. Sedangkan nangis itu manusiawi. Nggak apa-apa nangis tuh. Jangan dikit-dikit cemen dikit-dikit cemen. Sini yang bilang gitu biar gue sedot ubun-ubunnya."

Bukannya menjawab, Dirga malah merengkuhku dan menaruh kepalanya diceruk leherku. Dapat aku rasakan pundakku basah karena air matanya.

"Gue lega, Nat. Lega banget udah ngungkapin ke Papa apa yang gue rasain. Rasanya beban hidup gue yang  paling berat ilang gitu aja."

Aku membalas pelukan Dirga dan berkata, "Lo hebat, Ga. Gue salut sama lo."

















KALIAN SHIPPERNYA SIAPA?

DIRGA NATA

ATAU

JUNA NATA

ATAU FEBBI SAMA JUNGWOO😗

UNTJ UNTJ.

ReasonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang