02; Sepeda Juna dan Sifat Dinginnya

635 59 0
                                    

"Bang Jefri lama banget sih. Padahalkan tadi udah bilang suruh jemput lebih awal!" gerutuku pada kakak kandungku yang sekarang sedang fokus melihat jalanan sembari tangannya bergerak lincah mengarahkan stiran mobil.

"Ya maaf. Abang 'kan juga manusia, bisa lupa."

Aku hanya menggumam menyahuti kalimat bang Jefri. Tidak tahu apa kakiku lelah berdiri di menunggu jemputan! Kalau sama doi sih nggak apa-apa! Masalahnya aku ini nggak punya doi!

Aku memilih mengalihkan pandanganku ke jendela. Melihat motor yang berjalan bagai semut yang ada di tembok rumahku. Ramai sekali, sampai-sampai para pengguna motor layaknya semut dan lampu merah adalah tempat dimana mereka berkumpul dan bersalam-salaman seperti semut pada umumnya.

Astaga! Sebenarnya aku juga belum tau mereka bersalam-salaman atau melihat satu sama lain sambil berkata, 'Loh, kok sama?'

Huft, omonganku jadi melenceng saat kesal. Tiba-tiba menjadi random apa yang ada dalam pikiranku. Tetapi tidak apa-apa 'kan selama tidak membebani pikiran?

Kedua mataku menangkap objek yang sangat aku kenal. Yang baru tadi mengatakan bahwa dia tidak mau aku mencampuri urusannya. Sakit sih, tapi aku peduli. Entah untuk alasan apa.

Bibirku tergerak melengkung keatas melawan gravitasi. Laki-laki itu, Juna mengayuh sepedanya dibawah matahari yang sedang menyinarkan cahayanya diwaktu yang mulai sore ini.

Peluhnya dapat dilihat dari kaca mobil milikku. Peluhnya banyak, bahkan sampai baju seragam bagian depan miliknya basah terkena keringat. Anehnya Juna tetap saja mengayuh sepeda tuanya seolah tanpa beban. Aku salut, Juna itu spesial. Keluhan jarang keluar dari bibir tipisnya yang kerap kali memilih bungkam dan mengabaikan kata-kata yang sekira tidak penting.

Sepertinya senja bentar lagi menjemput. Namun kenapa Juna baru pulang? Bukannya jam pulang sudah dari tadi?

Aku kembali duduk menghadap depan dan menyandarkan tubuhku di kursi mobil. Netraku menatap jalanan ibu kota yang hampir setiap hari macet. Sebenarnya kenapa sih harus macet? Padahal jalanan aspal sudah dimana-mana. Apa penduduknya berkembang sepesat itu?

Seramai-ramainya ibukota, sebanyak-banyaknya manusia di ibukota, tetap saja hari-hariku hanya begini. Tidak ada yang spesial dan berkesan. Bahkan menurutku tidak ada yang bisa dikenang karena setiap harinya seputar itu-itu saja.

Aku memilih memejamkan mataku. Pikiran tentang Juna berkecamuk setiap harinya di otakku. Lelah memikirkan si misterius yang manis, akupun benar-benar terlelap di tengah kemacetan dan segenap pertanyaan yang ku pendam dalam diam.

ReasonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang