11; Pusing

205 28 0
                                    

Udara siang ini panas sekali. Bahkan pendingin ruangan yang ada di kelasku rasanya tidak berpengaruh apa-apa. Mungkin matahari sedang kelewat bahagia sehingga dia terlalu terik memancarkan sinarnya.

Rentetan kalimat yang dijelaskan oleh pria paruh baya yang sekarang sedang menunjuk monitor dengan lasernya sepertinya tidak semua materi yang ia jelaskan masuk ke dalam otakku. Dan sepertinya itu juga dirasakan oleh siswa lain selain diriku.

Aku mengamati sekitarku. Rupanya teman-teman sekelasku sedang berusaha kantuk yang menyerang dengan sangat kuatnya. Tak jarang mereka juga mengipasi wajah mereka yang mengalir keringat dengan buku tulis. Lucunya ada satu temanku, Bobi namanya, dia sekarang sedang menyangga kepalanya dengan kedua tangannya sementara matanya merem lalu melek saat dirasa guru melihat dirinya.

Aku terkekeh pelan membuat Tania menyenggol bahuku, "Kenapa dah ketawa sendiri?"

"Liat ke arah Bobi deh. Kasian tuh anak ngantuk banget kayaknya."

Bola mata Tania mengikuti arah yang aku tunjukkan. Dia juga ikut terkekeh melihat kelakuan kebo Bobi yang tidak pernah hilang ataupun berkurang dari kelas sepuluh. Sepertinya beliau benar-benar menggapai mimpinya disekolah.

"Woi, diliatin Pak Rudi tuh!" bisik Juna pelan.

Aku dan Tania segera bungkam dan bersikap seolah-olah aku dan Tania sedang mendengar penjelasan Pak Rudi dengan serius. Jujur aku tidak suka mata pelajaran yang Pak Rudi ajarkan. Beliau adalah guru mata pelajaran matematika yang mana pelajaran itu aku benci sejak masuk SMA.

Pak Rudi selalu bilang dengan gampangnya, "Matematika itu sebenarnya gampang. Hanya seputar tambah, kurang, bagi dan kali." begitu yang selalu beliau katakan disaat muridnya mengeluh pelajaran matematika itu membosankan dan susah untuk dicerna oleh otak.

Suara nyaring bel yang ditunggu-tunggu akhirnya menngema disetiap koridor sekolah. Suaranya yang memekakkan telinga membuat siswa yang tadinya mengantuk, lemah, letih, lesu kembali bersemangat dengan senyum sumringah merekah dibibirnya.

"Ayo ngantin lur!" ajak Tania begitu Pak Rudi melenggang meninggalkan kelasku.

Aku menggeleng pelan. Mager, dan jujur saja aku agak sedikit pusing dari tadi pagi namun aku memilih bungkam. "Emang kenapa? Lo sakit?"

"Enggak kok. Lo ngantin sama Juna aja. Jun, temenin Tania sono."

Dapat aku lihat Juna mengangguk, "Mau nitip nggak?"

"Nggak mauuuuu."

Kening Juna mengernyit melihat aku. Namun sehabis itu dia mengajak Tania keluar dari kelas lalu pergi ke kantin. Setelah mereka pergi, aku menelungkupkan wajahku diantara tekukan tanganku diatas meja lalu memejamkan mataku. Semoga saja pusingku tidak bertambah lagi.

ReasonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang