01; Lisan Tajam

1.3K 86 4
                                    

"Ibunya gagu, rada bolot lagi."

"Gimana coba komunikasinya?"

"Dia pendiem gitu. Kayaknya emang rada congek deh. Buktinya jarang sosialisasi, mungkin komunikasi aja susah."

"Hahaha.. Nggak kebayang."

Aku masih menatap Juna yang memilih bungkam dan menulikan pendengaran.

Laki-laki dengan surai hitam itu tampaknya sedang memfokuskan dirinya akan suatu materi salah satu mata pelajaran.

Gerak gelisahnya, jari-jarinya yang menekuk tidak bisa mendusta bahwa laki-laki pemilik nama Juna Arfansyah itu sedang berusaha mengabaikan semua omongan, ralat —maksutnya hinaan atau ledekan yang tertuju pada ibu Juna.

Makin lama aku makin geram mendengar lisan mereka yang kian lama tidak tahu aturan.

Bahkan pemuda yang ibunya sedang digunjingkan kini tetap berusaha tenang dan tidak mengelak. Telapak tangannya mungkin basah, buktinya buku pelajaran saja sudah terkena keringat dari tangan pemuda bersurai hitam itu.

"Kalian bisa jaga omongan nggak sih?!" geramku kepada sekumpulan anak manusia yang tidak pantas kusebut teman.

Mereka malah terkekeh dan melirikku remeh, "Mau jadi pahlawan kesiangan lagi? Goblok lo. Yang lo bela aja nggak tahu diri."

"Apa urusannya sam—"

Rentetan kalimat emosiku terputus saat tangan kekar menggamit tangan kecilku. Mengajakku keluar dari ruangan kelas yang lebih pantas kusebut tong sampah berisikan tikus yang tidak berpendidikan. Padahal orang tua mereka susah payah menyekolahkan tetapi tetap saja kalimat dan suara yang mereka ungkapkan tidak sepantasnya terucapkan.

Langkahku dan Juna berhenti di ruang musik. Tepatnya di depan ruang musik karena pintunya tertutup.

"Udah berapa kali gue bilang? Gue nggak butuh bantuan lo. Batu banget sih?"

Aku menundukkan kepalaku, "Gue nggak terima. Gue juga perempuan sama kayak ibu lo. Sakit rasanya dipandang remeh."

Juna mendengus kasar, "Gue yang anaknya milih diem. Lo jangan ngeribetin hidup lo dengan ngurusin hidup gue. Urusin hidup lo sendiri."

Selanjutnya Juna melenggang pergi meninggalkan aku yang terdiam membatu menahan segala emosi yang tidak bisa aku luapkan.

Aku masih diam, menatap punggung tegap Juna yang menyangga beban berat yang mungkin jika aku menahannya sudah runtuh tubuhku ke tanah.

Tapi Juna berbeda. Dia kuat, terlepas dari semua gelagat gelisahnya, ia tetap kuat menahan amarah yang mungkin bisa ia luapkan kapan saja.

〰️〰️

"Nat, gue denger lo tadi ribut lagi sama anak kelas?" tanya Tania sambil menyendokkan bakso lalu melahapnya.

Aku mengangguk mengiyakan, "Mereka keterlaluan. Gue aja pengen nangis bayangin mama gue yang mereka kata-katain."

Tania menelan baksonya secara perlahan lalu menatapku dengan mata bulatnya, "Gue juga sih. Heran, si Juna betah amat diemnya. Kalo gue jadi dia udah gue sobek tuh mulut tikus curut."

Aku menghela nafas, "Juna bukan betah diem. Tapi berusaha tetep diem.  Gue tau dia pengen berontak. Cuma Juna tuh orangnya nggak mau cari ribut."

Selanjutnya hening. Hanya ada suara hiruk pikuk ramai kantin dan suara-suara tawa para siswa yang bercanda. Aku yakin dalam heningnya Tania, ia juga mengiyakan perkataanku.

ReasonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang