13

12 5 0
                                    

Pagi pun tiba, anggota keluarga Kevin dan Alvin tengah melakukan pemakaman, hanya dua orang yang tidak hadir pada hari pemakaman itu.

Rion yang memilih tidak datang ke acara pemakaman kedua sepupunya, karena ia memiliki perbedaan keyakinan dengan seluruh anggota keluarganya. Yap, perbedaan keyakinan termasuk salah satu alasan mengapa keluarganya membenci Rion dan ia baru saja masuk Islam satu setengah tahun yang lalu. Rion bahkan tidak mengetahui keyakinannya sebelum ia lupa ingatan.

Rion memilih untuk menyusun rencana untuk menghentikan bajingan itu, siapa lagi kalau bukan Zen Argara. Ia benar-benar menguji kesabaran Rion, tindakannya sekarang sudah kelewat batas.

‘Siapa lagi yang akan menggangguku setelah ini?’- Rion yang mulai mengingat kedua sepupu begonya.

“Ah, Sudahlah. Cukup kalian yang terakhir, akanku usahakan tidak ada korban lagi setelah kalian” tekad Rion yang masih memikirkan peluangnya menghancurkan Zen sialan itu.
==================

Dio kini tengah duduk di sebuah Cafe. Ia kini tengah menunggu rekannya. Siapa lagi kalau bukan Jino.

Selagi menunggu ia memesan minuman dingin. Hingga minumannya datang pun, Jino tak kunjung datang.

‘Apa ia perlu berdandan seperti perempuan?’- Dio.

Dio mulai menyeruput minumannya hingga bunyi halus lonceng Cafe itu mengalihkannya. Niat hati ingin langsung mengumpat karena orang yang ia tunggu terlambat, namun orang bukan Jino.

Siapa dia? Dio merasa pernah bertemu dengannya, tapi di mana.

Karena terlalu lama melihatnya, akhirnya orang itu menyadari bahwa seseorang memperhatikannya dan mendekati Dio.

Dio langsung mengalihkan pandangannya, namun orang itu sudah duduk di hadapannya. Dio masih berusaha mengingat siapa orang itu. Melihat raut wajah Dio bingung gadis itu segera mengetahuinya.

“Jangan bilang kau lupa.” Kata gadis itu.

“Hm.... Sepertinya. Aku memiliki masalah dengan pikiranku akhir-akhir ini” jawab Dio jujur.

“Kita bahkan bertemu baru semalam, aku adiknya kak Rion. Marva Davendre” kata gadis itu.

“Ah.. ya, aku ingat sekarang. Apa kau ikut pada upacara pemakaman sepupumu?” tanya Dio basa-basi.

“Ya, aku baru kembali dari sana” jawab Marva.

“Sebenarnya aku memang ingin memintamu menemuiku besok, tapi kita malah bertemu sekarang. Ada yang ingin katakan” lanjut Marva yang dibalas anggukan Dio.

“Kulihat kau dekat dengan kakakku, apa mungkin kau mengetahui penyebabnya seperti kemaren.” tanya Marva.

“Aku? Tentu saja tidak. Kupikir kau tau sampai kau memberikan obat itu, lagian kau keluarganya.” Jawab Dio terkejut.

“Owh.. begitu. Ada dua hal yang tidak diajarkan keluargaku dari dulu. Etika dan mempercayai orang. Makanya kau jangan heran jika kakakku itu tidak sopan, dan masalah percaya kupikir ia akan melunak padamu. Karena kau teman pertamanya yang kutahu” jelas Marva.

“Apa itu termasuk tidak mempercayai keluarga sendiri? Karena kau tidak tahu penyebab fobianya?” Heran Dio.

Marva mengangguk, “Ya, karena orang lain dianggap musuh. Tidak seorang pun dapat dipercayai kecuali diri sendiri”

‘Patas sikapnya seperti itu’- Dio.

“Jadi kalian bisa dikatakan kurang perhatian?” tanya Dio memastikan.

“Entahlah, yang pasti kakakku itu di bawah tekanan” jawab Marva yang tak ingin pembicaraan itu semakin berlanjut.

“Baiklah kita kembali ke awal. Bisakah kau mencari tau penyebab fobianya?” Marva berharap jawabannya ‘iya/ bisa’.

“Tidak, meskipunku tau aku tidak akan memberi tau kan padamu. Karena kau sendiri yang mengatakan bahwa ia tidak mempercayaimu” jawab Dio lalu menyeruput minumannya yang sudah terabaikan sejak tadi.

“Ayolah kak. Mungkin aku bisa menghindarinya dari hal yang di takutinya” kata Marva membujuk.

“Mungkin ia fobia darah” jawab Dio asal, yang sebenarnya cukup masuk akal baginya.

“Tidak mungkin” jawab Marva cepat.

“Bagaimana kau bisa kau tahu?” tanya Dio.

“Ah sudahlah, jika kau tak ingin membantuku” kata Marva yang segera berdiri.

“Ah ya.. aku lupa. Kak tolong katakan pada Kak Rion bahwa Keyna tidak ada di pemakaman tadi” kata Marva yang langsung pergi ke bangku lain yang dihuni oleh teman-temannya.

‘Jadi dia (Marva) juga punya fobia’ pikir Dio, karena tidak mungkin ia membawa obat itu tanpa alasan.

Last ExpectationTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang