32

278 29 4
                                    

"Des, udah di kode tuh," ledek Irene menyikut Desyca. Desyca hanya meliriknya dan tersenyum tawar.

Dirga yang melihat raut wajah Desyca sedikit berubah langsung mengubah topik pembicaraan. "Oya, jadi kapan rencana pernikahan kalian?"

Irene dan Reihan langsung berpandangan. "Dua bulan lagi," ujar mereka semangat.

"Doain kita ya, sumpah deg-degan banget," sahut Irene di tengah pembicaraan.

"Doa kita selalu ada untuk kalian kok," jawab Desyca.

"Aah, aku terharu," ucap Irene dengan mata yang mulai berkaca-kaca.

"Gak usah lebay Ren!" sahut Dirga membuyarkan suasana haru yang baru saja tercipta.

Dirga menatap seseorang yang duduk di sampingnya, gadis yang masih sibuk dengan minumannya dan tak sadar ditatap dengan tatapan memuja.

Dirga mengulas senyum di wajahnya, bersyukur pada Tuhan karena akhirnya perasaannya mulai mendapat sambutan walaupun ia tahu Desyca belum bisa merelakan masa lalunya, tapi ia akan tetap berusaha sampai akhirnya ia lah yang akan selalu ditunggu oleh gadisnya.

"Ekhem, ngedip kali Garong!" Tegur Reihan yang mendapat kekehan dari Irene.

Desyca menoleh kepadanya membuat ia menjadi salah tingkah.

"Ada apaan si?" Tanya Desyca dengan wajah polos.

Dirga hanya bisa menghela nafas mendengarnya, sedangkan Reihan dan Irene sudah kompak menertawakannya.

"Ya ampun Des, ternyata gak berubah ya, masih aja gak peka, hahahaha," ujar Reihan dengan tawanya, ia bahkan sampai bertepuk tangan karena kejadian lucu itu, dan Irene memegangi perutnya karena menertawakan sahabatnya.

Desyca melirik Dirga meminta penjelasan. "Sudahlah, tak usah dipikirkan Des," jawab Dirga pasrah.

***

Aku terbangun dan merasakan cahaya yang begitu menyilaukan mata, penglihatanku awalnya terlihat samar namun setelah aku mengerjapkan mataku beberapa kali aku bisa melihat dengan jelas. Badanku terasa sangat pegal seakan aku telah tidur sangat lam.

Aku melirik tempat ini dengan ekor mataku, terlihat ruangan serba putih dan aku tak tahu ini dimana. Ah, aku merasakan tenggorokanku sangat kering seolah telah lama tak mengecap air masuk ke dalam tenggorokan ku.

Aku berusaha untuk bersuara, tapi tak bisa, ini hanya semakin membuat tenggorokanku kering dan sakit. Aku kenapa? Ada apa denganku?

Aku berusaha bangun dari tempat tidurku, tetapi aku tak mampu. Semua yang ada di tubuhku seakan telah terikat kuat di ranjang ini sehingga aku tak bisa melakukan apapun.

Aku mencoba lagi, mencoba untuk menggerakkan tubuhku, tapi hasilnya nihil. Tak ada pergerakan, yang ada hanyalah rasa sakit yang menjalar ke seluruh tubuhku. 'Oh Tuhan, ada apa denganku' batin pria itu.

Setelah berusaha sekuat tenaga, akhirnya ia mulai bisa mengeluarkan kata dari mulutnya, tapi ini tidak sejalan dengan bagian tubuhnya yang lain. Tubuhnya tetap kaku tidak bergerak dari tempatnya.

Seorang wanita yang baru saja masuk ke ruangan itu langsung memeluk pria yang terkulai lemah dalam ranjang. "Akhirnya kamu sadar, aku sudah menunggumu bertahun-tahun," ucap wanita itu sambil menangis.

'Bertahun-tahun? Astaga, jadi sudah selama itu aku disini' batinnya sendu.

"Sudah berapa lama aku disini?" Tanya Juna dengan suara parau.

"Tiga tahun."

Wanita itu menyeka air matanya. "Apa kau membutuhkan sesuatu?" Tanya wanita itu menatap sendu pria tersebut.

"Aku haus," jawabnya. Wanita itu dengan sigap segera mengambil gelas yang ada di atas nakas. Mencoba membantu pria itu untuk minum, namun pria itu tak bergerak, ia hanya menggerakkan bola matanya.

Satu tegukan air telah masuk ke tenggorokannya melalui sedotan plastik yang tergantung di gelas itu. Setelah dahaganya hilang, ia mengulas senyum agar wanita itu berhenti menangis.

"Jun, apa kamu tak bisa menggerakkan tubuhmu?" Tanya wanita itu.

Juna hanya menghela nafasnya berat. "Tidak bunda, tubuhku terasa kaku." Jawab Juna yang seakan membuat dunia wanita itu runtuh.

Wanita itu menangis dengan tersedu, "Apapun akan bunda lakukan agar kamu bisa seperti sedia kala Jun, tolong tetap bersabar dan berusaha, bunda yakin kamu pasti bisa."

"Iya Bun," ucap Juna berusaha menenangkan bundanya.

Bunda memencet tombol yang ada di dekat ranjang Juna, tak lama berselang datanglah dokter dan perawat yang memeriksa Juna.

"Akhirnya kamu sadar, kau pasti berjuang dengan sangat keras!" Ujar sang dokter sembari memeriksa Juna.

Juna hanya diam tak menanggapi. "Nyonya, boleh kita bicara sebentar di ruangan saya?" Tanya sang dokter setelah memeriksa keadaan Juna. Bunda Juna pun mengangguk.

"Jun, bunda ke ruangan dokter dulu ya," pamit bunda padanya.

"Iya Bun."

Juna berusaha mengingat apa yang terjadi padanya, kenapa ia sampai berakhir dalam ranjang yang menyiksanya seperti ini. Pikirannya terus melaju hingga ia teringat pada kejadian itu.

Harusnya aku tak perlu berbohong padanya saat itu, harusnya aku tak perlu mengatakan akan pulang malam dan sulit untuk di hubungi, harusnya aku jujur saat itu, karena saat itu aku ingin ke Malang untuk memberi tahu bunda perihal hubunganku dengannya.

Dengan semangat aku mengendarai mobilku menuju Malang, aku telah sampai di kota ibuku, tinggal selangkah lagi aku dapat menemuinya. Bunda, aku akan memperkenalkanmu dengan seseorang yang selalu mengisi hari-hariku, cinta keduaku setelah engkau, dan aku ingin dia yang menjadi ibu dari anak-anakku kelak.

Tapi, kenyataan tak selalu sesuai dengan ekspektasi, kejadian naas itu tak bisa dicegah. Tiba-tiba saja ada mobil yang melaju dengan kecepatan tinggi menabrak bagian belakang mobilnya hingga mobilnya terseret dan menabrak mobil lain. Kecelakaan beruntun yang melibatkan tiga mobil itu membuat warga berhamburan keluar untuk membantu mengevakuasi para korban.

Mobil Juna berada tepat di tengah. Keadaan Juna saat itu terjepit diantara kursi pengemudi dengan setir, mobilnya rusak parah karena terdorong dari belakang maupun depan. Tubuhnya yang terjepit membuat evakuasinya menjadi agak sulit. Samar-samar Juna dapat melihat orang-orang yang berupaya membantu menyelamatkan nyawanya.

Juna merasa pusing dan sesak seakan oksigen telah habis terhisap dan tidak tersisa untuknya. Juna merasa kematian semakin dekat untuknya. Tubuhnya mendingin dengan nafas yang tersengal, hingga ia mulai kehilangan kesadarannya dengan cepat petugas medis menaruh oksigen ke hidungnya. Ia menghisap kuat oksigen yang dibutuhkannya, tapi tubuhnya tetap kian melemah hingga akhirnya tak sadarkan diri.

Tetes demi tetes air mata turun dan menggenang di pipinya kala mengingat kejadian itu. Kejadian pahit yang membuatnya tersiksa dan tak bisa melakukan apapun.

Kemudian pikirannya melayang pada satu gadis yang selalu setia bertengger di hatinya. Desyca maafkan aku, kamu baik-baik sajakah disana? Aku merindukanmu, sangat merindukanmu.

Lost (304th Study Room)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang