Pagi ini rasanya begitu dingin. Mean tersedak gara-gara salah menghirup udara melalui hidungnya, sementara Plan meliriknya dengan wajah masam dari sebelah kanan sambil menyetir.
"Maaf," Mean membenarkan posisi duduknya ketika mereka berbelok melewati pertigaan menuju distrik ekslusif kalangan ekspatriat -The Sukhumvit Road -dan Plan masih belum tahu ke manakah tujuan mereka saat ini.
"Tetap lurus ke depan," Mean memberi petunjuk arah -memerintah, alih-alih memandang Plan malah justru memejamkan matanya ketika The Grand Duel -Parte Prima milik Luis Bacalov bersenandung melalui Harman Kardon kepunyaan Plan.
Yang diajak bicara diam saja tanpa minat mendebat kembali. Tiga puluh menit yang lalu ia bertengkar dengan Mean di sekitar lingkungan sekolah pemuda itu yang menyebabkan ia lelah hingga selera bicaranya hampir mencapai angka nol. Baru beberapa detik yang lalu ia pun sadar bahwa rencana liburan yang telah ia susun untuk bersenang-senang telah berantakan. Plan ingin marah, tapi sudah terlanjur terjadi.
"Maafkan sikap dinginku tadi malam."
Plan menoleh dan mendapati Mean telah kembali membuka matanya. Alunan musik dari soundtrack film vulgar Kill Bill masih mengalun di dalam mobil yang terdengar seperti nyanyian iblis bagi telinga Plan, lalu ia membuang napas sampai uap putih dari hembusan napasnya samar terlihat.
"Aku tidak memintamu menginstropeksi diri dan meminta maaf padaku. Terserah saja," Plan memperbaiki posisi duduknya, bokongnya mulai terasa pegal. "Ke mana lagi kita setelah ini?" tanyanya.
"Belok kiri."
Plan menurut. Ia memutar kemudi ke arah kiri dan mereka berada di tengah jalanan yang diapit oleh dua buah dinding gedung tinggi, di mana pencahayaan menjadi minim karena matahari tidak mampu menerobos masuk sesuka hati pada tempat ini.
"Masih jauh?" tanya Plan tak sabar.
"Sedikit lagi. Lihat, di sana."
Plan mengikuti arah telunjuk Mean yang jatuh pada sebuah gedung tua yang tampak agak kumuh, yang entah mengapa bisa berdiri di daerah pemukiman elit itu.
Ketika Plan selesai memarkir mobilnya tepat di bawah tiang bola basket lapuk yang tampaknya jika disentuh sedikit saja akan roboh, Mean menyodorkan sebuah topi dan masker hitam pada Plan hingga membuat alis pemuda dewasa itu menyatu.
"Di dalam ada teman-temanku. Salah satunya yang kemungkinan besar berada di sana juga adalah fans-mu. Kau tidak akan nyaman dengannya jika kau menunjukkan wajahmu secara terang-terangan seperti itu di hadapannya," ucap Mean, kernyitan pada keningnya membuat Plan bertanya-tanya seperti apa wujud teman Mean yang mengaku sebagai fans-nya itu? Yah, tidak aneh jika remaja seusia Mean mengidolakannya jika mengingat bahwa selama ini ia selalu mendapatkan peran sebagai anak sekolahan di setiap drama yang ia bintangi meskipun kenyataannya ia sudah terlalu tua untuk memerankannya.
"Berapa orang jumlah temanmu di dalam sana?" Plan bertanya, menggaruk pipinya yang entah mengapa tiba-tiba saja terasa gatal tanpa sebab.
Mean melirik arlojinya dan berpikir, "Dua. Atau mungkin tiga?" ia menebak.
Plan mengangguk. "Simpan saja topi dan maskernya. Aku rasa aku bisa mengatasi teman-temanmu, tidak terlalu menganggu," jawabnya sembari melangkah. Mean mengangkat bahu dan melemparkan benda-benda itu asal kemudian ikut turun dari mobil dan tiba-tiba saja ia telah melangkah di depan Plan.
Mereka hampir saja mencapai pintu utama gedung kumuh itu ketika mendadak Plan mencengkram lengan Mean tanpa aba-aba, "Ingat ya, Mean Phiravich. Biar bagaimanapun, kau adalah tanggung jawabku untuk hari ini. Aku akan menutupi kenyataan bahwa kau bolos dari sekolahmu, tapi," -katanya sambil mengacungkan jari telunjuk, "jika aku menemukan hal-hal aneh yang kau lakukan bersama komplotanmu di dalam sana, aku tidak akan segan-segan mengadukan semuanya pada ayahmu," ia mengancam.
Senyuman miring tampak pada wajah Mean. "Hal-hal aneh seperti apa?" ia menantang.
"Alkohol. Atau drugs, mungkin?" jawab Plan khawatir.
Mean menggelengkan kepala,"tidak ada alkohol, tidak ada drugs. Aku bersih. Kau tenang saja," jawabnya santai. "Ayo kita masuk." Mean menarik tangan Plan dan menautkan jari-jari mereka yang sempat membuat Plan mendapatkan bulu kuduknya meremang secara tiba-tiba, sehingga ia menarik tangannya cepat kemudian menatap tanpa arah dengan sikap kikuk yang kentara. Diam-diam, Mean tersenyum secara misterius karena respons pamannya itu.
Begitu pintu terbuka, apa yang ditangkap oleh penglihatan Plan adalah ruangan besar penuh kursi berlapis vinil merah. Nun jauh di bagian terdalam gedung sana tampak 3 sosok manusia yang berada dalam posisi acak, salah satu yang bertubuh agak mungil namun tampak maskulin berambut ikal kelabu duduk sangat nyaman memainkan ponselnya dengan siku yang bertumpu pada meja di mana pada permukaannya terdapat segelas kopi dengan gumpalan asap putih mengepul yang begitu jelas. Satu lainnya yang bertubuh jangkung dengan rambut toska berantakan tampak sibuk mengelusi gitar elektrik, membersihkannya tanpa peduli pada sekitar. Dan satu orang lainnya yang bertubuh agak pendek berambut hitam, sedang menumpuk roti dan keju pada piring putih polos, lalu Mean mengerang aneh dengan alasan yang tidak dapat Plan mengerti.
"Berdiri di belakangku, Plan."
"Hei!"
Kening Plan menyatu hendak protes lebih jauh pada intonasi sarat komando dari keponakannya yang tidak sopan itu, tapi belum sempat ia membuka mulut, Mean telah menggeser tubuhnya paksa ke belakang bahunya, menyembunyikan tubuh kecilnya di sana sampai tidak terlihat.
"Dia akan histeris melihatmu. Percayalah, ini akan menyebalkan," Mean berbisik dari bahu kanannya.
"Siapa yang kau maksud?" sahut Plan gusar.
"Si kerdil itu," jawab Mean masih dengan bisikan.
Mean melangkah perlahan dan Plan mengikutinya dari belakang hingga bocah yang sedang memainkan ponsel menyadari kedatangan mereka dan menoleh. "Yo, bro!"bocah itu menyapa. Semua mata menatap ke arah Mean, dan butuh waktu hingga tiga detik untuk menyadarkan si bocah ikal kelabu itu bahwa ada seseorang yang berdiri di belakang Mean. Kepala kelabunya ia miringkan ke arah kanan bahu Mean, mengintip. "Siapa yang kau bawa di belakang punggungmu itu, Mean?" tanyanya penasaran, tapi yang ditanya diam saja.
Plan mengintip sedikit dari belakang punggung Mean, ingin melihat lebih jelas siapa yang bertanya, lalu tiba-tiba saja terdengar suara piring pecah dan pemuda pendek di balik konter menatapnya dengan telunjuk yang bergetar, tepat mengarah padanya.
"P -Plan! Plan Rathavit!" jeritnya heboh.
Mean memutar bola matanya bosan sementara Plan mendelik bingung. Apa-apaan? -pikirnya, sebelum ia sadar sesuatu dan menatap pada pemuda heboh di balik konter itu. 'Is he the one? His fans?'
💙 30/06/2019 💚
KAMU SEDANG MEMBACA
A B I E N C E
FanfictionPaman Plan? Yang benar saja. Sampai matipun Mean tidak akan pernah mau mengakui Plan sebagai pamannya! Tidak pantas, dan tidak bisa diterima. Dan meskipun Plan berusaha keras hidup dengan memegang teguh pada norma-norma yang ada, toh ia tidak mam...