"Aku pernah makan di sini beberapa kali dengan Dad, berbulan-bulan lalu," kata Mean sambil menopang dagu. Plan tidak terlalu mendengarkan. Ia tengah sibuk memainkan ponsel sambil menunggu pesanan mereka datang.
Marriott Sukhumvit Steakhouse, bentuknya melebar dan luas, dengan dominasi warna hitam di mana-mana. Sepanjang dindingnya penuh oleh chalk vector bergambar sapi, dan di bagian dinding sebelah kiri terdapat tulisan terang berbunyi 'No Beef No Life' yang membuat Mean menggelengkan kepala. Norak, pikirnya. Di balik konter ada lima orang berseragam koki dengan topi hitam, tampak sibuk menyiapkan pesanan para pelanggan, sementara ia dan Plan memilih meja yang paling dekat dengan sudut ruangan.
Beberapa detik berlalu tanpa obrolan berarti karena pemuda yang lebih tua terlalu sibuk bermain game. Sayup-sayup Mean mendengar alunan musik Barat sambil menimbang-nimbang kembali apakah ia harus mengusik Plan lagi ataukah tidak? Ia sempat berpikir akan membahas tentang lagu Barat tersebut untuk mencairkan suasana namun ia batalkan dalam sekejap karena sepertinya Plan pasti tidak tertarik juga membahasnya.
Pada akhirnya, yang Mean lakukan hanya memandangi Plan saja. Fitur wajah yang begitu sempurna menohok pikiran Mean seperti tegangan listrik, mengisi baterai di dalam otaknya hingga menghidupkan kembali memori masa lalu, di mana ia pernah –dengan polosnya –mengidolakan si mungil di seberang meja hanya karena suka pada wajah itu.
"Mean, kau belum pantas menonton serial remaja seperti itu."
"Tapi Dad, Mean suka menonton ini!"
"Oh kiddo, ini tontonan yang tidak baik untuk tumbuh kembangmu."
"Mengapa?"
"Saat kau dewasa nanti kau akan mengerti mengapa Dad tidak mengizinkanmu menonton serial ini."
"Mean tidak benar-benar menonton serialnya, kok. Mean hanya suka melihat dia."
"Melihat siapa?"
"Petchy!"
"Petchy?"
"Lihat! Petchy adalah teman sebangku Opal."
"Ya, ya. Dad tahu yang mana Petchy-mu itu. Dan, ya Tuhan! Dari sekian banyak pemain di serial ini, mengapa kau malah suka pada anak yang memerankan karakter banci?"
"Banci?"
"Dad salah bicara. Lupakan."
"Lihat Daddy! Petchy imut, ya?"
"Dad setuju, nak. Petchy–mu memang imut. Tapi untuk sekarang lebih baik matikan televisinya. Gosok gigimu, lalu kita bisa tidur berdua, oke?"
"Gosok gigi pakai King Lucian?"
"Tepat sekali! Dad tahu kau menyukai sikat gigi barumu. Jadi sekarang pergi ke kamar mandi dan sikat gigi, oke?"
"Oke!"
"Good boy."
"Tapi Dad ..."
"Ya?"
"Susu?"
"Oh, susu? Tentu kau akan mendapatkannya, buddy."
Mean meringis ketika ia mengingat itu, tapi kemudian ia tertawa tanpa suara saat memori kembali membawanya pada obrolan di mana ia mengetahui tentang Plan pada akhirnya.
"Yuck! Tidak enak!"
"Sorry ... Kau harus tahu bahwa hanya membuatkan susumu saja adalah sebuah perjuangan yang berat, Mean. Bahkan Dad menumpahkan hampir separuh dari kemasan susu bubukmu. Mom sudah terlanjur pergi bahkan sebelum ia mampu memelukmu, nak. Tuhan tidak memberikan banyak kesempatan padanya. Dan kau lihat? Di sinilah Daddy, harus belajar merawatmu sendirian. Jadi kau sebaiknya membiasakan diri, oke?"
KAMU SEDANG MEMBACA
A B I E N C E
FanfictionPaman Plan? Yang benar saja. Sampai matipun Mean tidak akan pernah mau mengakui Plan sebagai pamannya! Tidak pantas, dan tidak bisa diterima. Dan meskipun Plan berusaha keras hidup dengan memegang teguh pada norma-norma yang ada, toh ia tidak mam...