Meskipun bagian depan gedung penuh dengan orang-orang yang bersorak sorai, meliuk menari mengikuti hentakan musik, memori Plan masih dapat dengan jelas memutari hari itu, di mana ia datang ke kondo Pray ketika gadis itu mengeluh kalau ia sedang demam melalui telepon, lima tahun lalu. Padahal ketika Plan datang, Pray tengah bersantai di atas ranjangnya dengan kacamata yang sudah melorot di hidung. Hair bun nya juga sudah berantakan, buku-buku yang berserakan di lantai kamar dan juga sampah-sampah makanan cepat saji berikut bekas cup soda tergeletak tak beraturan di mana-mana.
"Jadi kau bohong padaku?"
Pray tak menjawab. Gadis itu bangkit dan duduk pada permukaan ranjangnya, membenarkan posisi kacamata dan menarik hair bun dari rambutnya hingga terlepas. Selanjutnya, gadis itu hanya mengamati Plan sampai yang ditatap risih sendiri dan mengelus tengkuk.
"Aku hanya ingin tahu, apakah aku orang yang spesial bagimu ataukah tidak."
Plan membuang napas. "Untuk apa?"
"Hanya ingin tahu saja, apakah kau akan khawatir saat aku sakit ataukah tidak?"
Plan menyandarkan punggungnya pada tembok dan berdecak. "Kau tahu? Aku berlari-lari dari kampusku hanya karena kau mengatakan kalau kau sakit."
Pray tersenyum dan bangkit dari duduknya. Kali ini mereka berdiri berhadapan. Plan membiarkan saja saat jemari Pray bermain-main di sekitar kerah kemejanya. "Boleh aku bertanya?"
Plan mengangguk, bingung.
Pray belum pernah segugup ini. Plan menyadari ada yang aneh pada diri gadis itu, namun ia diam saja. Ia hanya menunggu sampai Pray mau berbicara sendiri.
"Plan ... apa pernah, sekali saja, kau berpikir bahwa kau menyukaiku?"
"Hah?"
Pray tidak heran jika melihat kedua alis Plan hampir menyatu. Lelaki itu pasti terkejut. Mereka sangat dekat, sungguh. Meskipun baru saling mengenal karena dipasangkan dalam series remaja yang sedang tayang saat ini, mereka memang sudah sedekat itu. Bahkan teman-teman selebriti lain mengira mereka adalah sepasang kekasih.
"Aku pikir, aku menyukaimu Plan ... "
" ... "
"Kadangkala sikap yang kau tunjukkan padaku membuat aku berpikir kalau kau menyukaiku juga, lebih dari sekedar sahabat."
" ... "
"Dari sekian banyak perhatian yang kau berikan selama ini, mungkinkah kau juga menyukaiku?"
Plan menggigit bibir dan memalingkan wajah. Ia tidak tahu harus mengatakan apa.
Pray menarik napasnya dan berbalik, kembali duduk pada permukaan ranjangnya sendiri. "Sesulit itu untuk menjawab, ya?"
Plan tetap diam, berpikir.
"Plan ..."
"Aku belum ingin menyukai gadis manapun dalam hidupku, Pray. Entahlah. Aku tidak tahu."
"Tidak untuk gadis manapun termasuk aku?"
Plan mengangguk.
"Kalau laki-laki?"
Plan melotot. "Kau gila ya?"
"Aku masih waras."
Plan mendengus, kesal.
"Aku hanya bertanya, Plan. Hanya pria gay yang enggan menyukai perempuan. Kau sudah hampir dua puluh tahun. Aku merasa aneh jika kau belum pernah tertarik dengan gadis manapun di usia ini. Bahkan aku saja sudah mulai berpacaran di usia tiga belas."
KAMU SEDANG MEMBACA
A B I E N C E
FanfictionPaman Plan? Yang benar saja. Sampai matipun Mean tidak akan pernah mau mengakui Plan sebagai pamannya! Tidak pantas, dan tidak bisa diterima. Dan meskipun Plan berusaha keras hidup dengan memegang teguh pada norma-norma yang ada, toh ia tidak mam...