Jika saja lantai yang dipijaknya adalah benda yang lembek, Plan sudah pasti akan menenggelamkan diri di dalamnya. Dua jam penuh untuk sesi wawancara dengan 'wartawan' Perth Tannapon, kecerewetannya sungguh di luar ekspektasi. Di sebelah kirinya Mean duduk menggoyangkan kaki sambil menggigiti kuku jempol tangannya. Matanya tak sekejap pun terlepas dari wajah Perth dengan ekspresi yang tentu saja memancarkan aura muak yang kentara. Keponakannya itu tampaknya gusar, dan Plan sadar akan hal itu. Di hadapannya si rambut ikal kelabu –Mark –masih memainkan ponsel sambil sesekali menyesap kopi, tak peduli pada setiap rentetan pertanyaan yang dilontarkan oleh Perth pada Plan. Jujur saja, di dalam hatinya Mark bahkan mengumpatkan kata 'tolol' berulang kali untuk Perth, karena semua informasi tentang Plan secara teknis telah terpampang jelas pada di manapun laman google asalkan kau mengetikkan keyword yang tepat, tentu saja. Sementara Gun si jangkung berambut toska sejak dua-tiga jam lalu masih saja tampak sibuk mengelus-elus peralatan musik dalam ruangan itu, tidak peduli pada sekitar. Oh, bahkan Plan belum tahu suaranya terdengar seperti apa jika ia berbicara.
"Kau pernah ke psikiater?"
Plan memijit pelipisnya, dan menjawab "tidak" tanpa melirik ke arah Perth lagi seperti sebelumnya. Terus terang saja ia mulai tak tahan.
"Kalau begitu, bagaimana dengan psikolog?"
"Tidak juga, Perth."
"Konselor atau segala jenis terapis?"
"Umm ... ya ..."
"Tolong detailnya."
"Hei!" Mean mulai tidak terima. "Haruskah kau mengetahui hal semacam itu?" ia mencondongkan tubuhnya dengan ekpresi wajah kesal.
"Tenang, bro. Yang kutanyai kan Phi Plan, bukan kau."
"Kuharap kau paham sampai mana batas-batas privasi orang lain." Mean mendengus, dan membanting punggungnya pada sandaran kursi sambil bersedekap sementara Perth malah tertawa.
"Memangnya selebriti masih memiliki privasi ya?" tanya Perth, memunculkan segi empat imajiner pada kening Mean. Ingin rasanya Mean melemparkan granat pada wajah bocah cerewet itu andai saja ia bisa.
"Jangan salah paham, aku hanya penasaran. Yang kutahu, dunia keartisan itu sangat keras, bro. Hanya orang-orang bermental kuat yang dapat menjalani profesi ini, ya kan, Phi Plan?" kata Perth memberi klarifikasi atas sikapnya.
"Begitulah." Plan menegakkan duduknya, dan menumpukan sikunya pada meja. "Pressure, stress. Makanan sehari-hari kaum kami. Tapi semuanya akan mudah kalau kau punya manajer tangguh dan pengendalian diri yang baik," kata Plan menjelaskan.
"Kau alkoholik?" pertanyaan kesekian ribu.
"Tidak," sahut Plan, mengernyit. "Maksudku, sesekali aku minum, tapi tidak ketergantungan," jelasnya.
Perth mengangguk dan memeriksa notesnya dengan ekspresi serius yang membuat Plan hampir terbahak. Ia jadi ingin menebak-nebak apa isinya. Apakah semua pertanyaan yang dilontarkan oleh Perth sejak tadi berasal dari benda kecil itu? Plan juga tidak tahu.
"Kau mau kopi?" kali ini Mean yang bertanya. Plan menggeleng bingung. "Ayolah Plan, mungkin kau harus ke toilet," paksa Mean seraya menarik paksa tangan Plan sampai pria itu bangkit dari kursi di mana ia duduk. Plan baru sadar jika Mean sedang berusaha menyelamatkannya.
Tanpa mereka duga, Perth juga ikut bangkit dan mengekor di belakang. "Hei Phi Plan, bertahanlah denganku sedikit lagi, oke? Aku janji kali ini hanya beberapa pertanyaan saja," ia memaksa agak berteriak ketika Plan menghilang di balik pintu toilet, tapi Mean menepuk bahunya, menahan. "Tahan bro, ia butuh pipis. Kau tidak berniat mengintip saat ia buang air kecil kan?"
KAMU SEDANG MEMBACA
A B I E N C E
FanfictionPaman Plan? Yang benar saja. Sampai matipun Mean tidak akan pernah mau mengakui Plan sebagai pamannya! Tidak pantas, dan tidak bisa diterima. Dan meskipun Plan berusaha keras hidup dengan memegang teguh pada norma-norma yang ada, toh ia tidak mam...