"Masih hujan juga..." Plan menggerutu sebelum telapak kakinya menjejak lantai kamar.
Sehari sebelum natal, hari ke empat puluh sembilan, dan kali ini akan diawali oleh Plan tanpa Ayuka. Hujan masih saja mengguyur kota Bangkok. Presipitasi berwujud cairan itu seolah tiada henti mempersulit orang-orang, termasuk Plan. Satu-satunya hal yang menguntungkannya atas hari ini adalah, ia libur. Dan semakin baik jika ia ingat bahwa ia bebas jadwal shooting hingga tahun baru nanti. Namun semuanya jadi tidak terlalu bagus lagi jika mengingat bahwa ia tidak akan melalui semua ini sendirian.
Ya, masih ada Mean.
Di dua setengah jam setelah ia terbangun dari tidur, Plan memutuskan untuk menikmati secangkir teh lemon di dapur dengan mata terpejam, sambil menghidu uap asamnya yang menusuk. Pada waktu-waktu seperti ini, ia percaya pada kenikmatan-kenikmatan kecil dalam hidup. Di sini, di dapur Ayuka yang berkilau, ia sedang menumpukan lengan pada meja granit tanpa cela. Di sekitarnya terdapat lemari es SubZero yang mendengung, dan mangkuk keramik merah hati berisi apel dan pir, yang tampaknya memang dibuat di kelas tembikar. Entahlah, tapi itu adalah mangkuk favorit Ayuka sejauh yang ia tahu.
Plan telah menyediakan sarapan bubur gandum dengan buah badam dan gula merah untuk Mean, dengan segelas jeruk peras yang telah ia letakkan pada meja granit hitam kelam itu. Tinggal menunggu keponakannya bangun dan memastikannya sarapan dengan benar, lalu ia berencana untuk bermalas-malasan seharian penuh -toh ia dan Mean tidak mungkin merayakan malam natal yang bukan kepercayaan mereka. Ia telah membayangkan kesenangan yang begitu mewah di ranjang kamarnya. Mungkin mirip seekor kucing yang akan merenggangkan tubuh sambil menguap dan memejamkan mata. Semakin bagus jika ada yang membelai bulunya, tapi jelas sekali kalau itu tidak mungkin terjadi.
"Lapaaaaar ..."
Teh lemon dalam mulutnya nyaris menyembur keluar karena kaget oleh teriakan tiba-tiba itu. Plan mengumpat tanpa suara. Diliriknya arah jam sembilan. Yang tampak oleh matanya pertama kali adalah Mean dengan kaus putih kusut dan bokser biru yang melorot sedikit. Mata sipit pemuda itu berbinar ketika tatapan mereka bersirobok, dan bibirnya juga menyunggingkan senyuman cerah yang bertolak belakang dengan cuaca di luar sana.
"Pagi, Rathavit Kijworalak!"
Plan memutar bola mata. "Apa yang membuatmu begitu bahagia hari ini?"
Mean berpikir, tapi dua detik kemudian ia telah mengangkat kedua bahunya -tidak tahu. Ia juga tidak mengerti mengapa ia begitu bersemangat ketika terbangun tadi.
"Kemari, sarapanlah," Plan bukan mengajak. Ia memerintah.
"Oke!" Mean menyahut patuh dan memakan sarapannya tanpa protes, sedangkan Plan memerhatikan wajah pemuda itu sambil berpura-pura menyesap teh lemonnya kembali. Tidak pernah terlintas dalam pikirannya bahwa ada anak lelaki yang begitu sederhana seperti Mean, meskipun ia anak tunggal dan terkurung oleh kenikmatan borjuis. Kadangkala ia mengagumi hal itu, bukti bahwa iparnya adalah seorang ayah yang mampu mendidik puteranya dengan baik.
"Plan ..."
Plan menurunkan cangkir dari hidungnya, "hmm?" ia menjawab dengan bola mata bergeser ke sudut, melirik.
"Siang nanti, ayo kita makan ke Lil Cafe."
Plan berjengit. "Tidak, terima kasih."
"Mengapa menolak?"
"Karena pasti aku yang harus membayar," sahut Plan.
Mean tertawa. "Di sana sedang diskon, karena menjelang natal."
Plan mengangkat bokong dari kursi sambil membawa cangkir bekas teh lemonnya ke bak cuci. Ia mulai menyalakan keran dan menyambar spons. "Kau tahu, Mean? Sejujurnya aku telah membuat daftar rencana untuk melewati hari libur yang menyenangkan ini, dan aku tidak akan membiarkan kau merusaknya," ujarnya sambil menggosok gelas-gelas kotor.
KAMU SEDANG MEMBACA
A B I E N C E
FanfictionPaman Plan? Yang benar saja. Sampai matipun Mean tidak akan pernah mau mengakui Plan sebagai pamannya! Tidak pantas, dan tidak bisa diterima. Dan meskipun Plan berusaha keras hidup dengan memegang teguh pada norma-norma yang ada, toh ia tidak mam...