Whelve.

793 93 60
                                    

Selasa pagi, dua puluh lima Januari, pukul delapan tepat. Plan baru saja keluar dari minimarket kecil tempo hari sambil menahan rasa panas merambat ke telapak tangannya. Kemasan styrofoam americano dengan asap tipis keluar dari sela-sela sedotan digenggamnya susah payah ketika ia melihat Porsche dan Ayuka melangkah terburu-buru memasuki pintu etalase otomatis rumah sakit. Refleks, ia lemparkan kopi yang baru dibelinya tersebut ke tong sampah.

"Onee –chan! Phi Porsche!"

Kedua orang yang dipanggil mengurungkan niat memasuki pintu etalase sekedar untuk melihat ke arah Plan.

"Oh, Plan –kun!" Ayuka menunggu Plan yang berlari ke arah mereka dengan raut lega yang tampak jelas pada wajahnya. "Syukurlah kami bertemu denganmu di sini, jadi kami tak perlu menanyakan nomor kamar Mean lagi pada resepsionis," ucap Ayuka sembari memeluk adiknya erat-erat. "Kau tidak ikut sakit, kan?"

Plan mengangguk kecil. "Aku merindukanmu," katanya ketika Ayuka melepaskan pelukannya.

"Aku lega karena kau baik-baik saja, Plan." Kali ini ayah Mean yang berbicara.

"Ya, untungnya aku sehat, Phi. Kita langsung ke kamar Mean?"

Ayuka dan Porsche mengangguk bersamaan, lalu mengikuti Plan dengan langkah lebar-lebar.

Ketika pintu kamar 312 terbuka, yang tampak oleh tiga orang itu adalah bocah lelaki yang tengah sibuk bermain game pada ponsel. Wajahnya sudah tidak pucat, sudah lebih sehat sejauh yang Plan tahu.

"Hi, Buddy!"

Mean menoleh saat ia mendengar suara yang sudah tidak asing di telinganya. "Dad!" wajahnya langsung tampak sumringah seketika.

"Kau tidak ingin menyapaku juga?" Ayuka meletakkan lengannya pada pinggang, menghakimi.

"Oh...yeah...hai?" kata Mean menggaruk tengkuk, canggung.

"Mungkin kau harus membiasakan diri untuk belajar menambahkan kata 'Mom' saat kau berbicara padaku." Ayuka menggeleng kecil sebelum ia menghampiri Mean dan memeriksa suhu pada dahinya, menarik ponsel dari tangan Mean dan menyingkirkannya ke permukaan nakas. "Sudah sarapan?"

"Sudah."

Ayah Mean ikut duduk di sisi ranjang Mean yang kosong, menepuk kepala anaknya. Wajahnya tampak lega karena kondisi Mean tidaklah seburuk yang ia pikir. "Jadi, apa yang membuatmu terdampar di tempat ini, jagoan?"

"Semua salahku." Plan menyahut cepat-cepat dari arah pintu, membuat Porsche dan Ayuka menoleh padanya secara bersamaan. "Aku tidak menjaganya dengan baik akhir-akhir ini. Aku lalai. Maaf."

Tak seorangpun berbicara setelahnya, namun Mean menatap mata Plan dari kejauhan dengan mimik wajah datar penuh makna yang membuat Plan tak tahan untuk tidak membuang muka.

"Dia berbohong. Paman menjagaku dengan baik, bahkan lebih baik ketimbang aku menjaga diri sendiri," kata Mean beberapa detik setelah ia melihat Plan membuang pandangan ke arah lain, terlihat jelas bahwa pamannya itu sengaja melakukannya.

Plan membuang napas berat yang hampir terdengar jelas dalam keheningan ruangan itu. Oke. Kali ini ia sudah bisa bernapas lega karena Mean tidak melakukan pembeberan fakta yang sebenarnya. Dan ia sudah boleh tenang karena orangtua Mean telah sampai di Thailand. Setidaknya, ia bisa bebas menghindari Mean setelah ini. Kondisi sekarang mengartikan bahwa ia tidak harus menjaga Mean dua puluh empat jam lagi seperti kemarin-kemarin, kan? Bukankah ini sangat bagus?


***


Sumpah, Perth tidak bermaksud untuk memata-matai. Kebetulan saja ia tengah melangkah tanpa suara dan menoleh ke arah sudut ketika dilihatnya Mark dan Gun sedang duduk berdekatan di sofa, yang dalam asumsinya, mungkin agak terlalu dekat dalam tanda kutip. Belum lagi jika ia menyadari bahwa lengan Mark saat ini merangkul erat pundak Gun, dan rambut hijau toska itu bersandar nyaman di sana, yang sekali lagi, menurutnya agak terlalu nyaman.

A B I E N C ETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang